Posts

Kuasa Warga dalam Pilkada

Netralitas aparatur sipil negara (ASN) selalu menjadi sorotan dalam hajatan pilkada, tak terkecuali menjelang Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 mendatang. Permasalahan ini mudah dijelaskan secara teori namun sulit dalam implementasinya.  Akademisi sekaligus mantan Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson (1887) mengungkapkan bahwa seharusnya, ketika proses politik selesai, maka proses administrasi publik dimulai. Wilson menginginkan adanya dikotomi antara politik dan administrasi, di mana ranah administrasi publik harus dibiarkan netral dan tidak tersandera oleh kepentingan-kepentingan politik. Sayangnya, kondisi ideal tersebut sangat sulit untuk diwujudkan, termasuk di negara Amerika sendiri. Karena realitasnya, pejabat publik lahir dari sebuah kontestasi politik. Sehingga, bila Partai Republik berkuasa di Amerika Serikat maka jabatan strategis sudah pasti berasal dari kelompok penguasa, begitu pula sebaliknya bila Partai Demokrat yang memenangi pemilu. Hal ini sudah sep

Tangerang Selatan dan Masalahnya

Tahun 2020 kita kembali memasuki tahun politik, khususnya bagi 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak. Jumlah tersebut terbagi menjadi 9 Pilkada Propinsi, 224 Pilkada Kabupaten, dan 37 Pilkada Kota. Kota Tangerang Selatan (Tangsel) merupakan salah satu dari 37 kota yang akan menggelar Pilkada serentak 2020. Sebagian kandidat, meskipun malu-malu tapi sudah mulai menampakkan diri melalui spanduk-spanduk di tiap sudut Tangsel. Sebagian lainnya menjadi pergunjingan di media massa dan grup WA smartphone kita. Saya belum akan menulis mengenai siapa saja kandidatnya, akan ada berapa pasang calon, siapa yang terkuat dan bagaimana komposisi koalisi partai politik. Saya akan memulainya dari permasalahan Tangsel itu sendiri. Apa sebenarnya masalah yang tengah dihadapi Tangsel saat ini? Kalau kita perhatikan sepertinya tidak ada permasalahan yang signifikan di Tangsel. Kualitas hidup masyarakat urban yang ada di Selatan Jakarta ini terbilang sangat baik bila dilihat dari

Wacana Kredit untuk Kuliah

Dalam rangka meningkatkan akses pendidikan di perguruan tinggi, pemerintah akan mendorong adanya kredit lunak kepada mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya (Kompas, 26/3/2018). Kebijakan tersebut jelas salah kaprah. Menurut pemerintah, sasaran kredit lunak adalah kelompok mahasiswa yang masuk dalam kategori miskin, rentan miskin, dan menengah-bawah. Bagaimana mereka mendapatkan pinjaman untuk sebuah kegiatan yang produktivitasnya tidak dapat langsung dirasakan. Padahal, pinjaman untuk membuka usaha yang produktivitasnya dapat dirasakan langsung saja sangat sulit, karena mereka umumnya terkendala dengan persoalan agunan. Pihak kreditur tentu tidak mau ambil resiko dengan memberikan pinjaman tanpa adanya agunan, karena bila terjadi gagal bayar (wanprestasi) maka akan menjadi kerugian. Selanjutnya, bila skenario pembayaran atau angsuran dilakukan tidak secara langsung, yakni ketika mahasiswa sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan, tentu hal ini akan mempengaruhi arus kas

Maju-Mundur Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi (PT) sebagai produsen SDM berkualitas saat ini sedang menjadi sorotan publik. Bukan hanya karena merebaknya ijazah palsu, tapi juga terkait dengan kualitas PT di tanah air. Daya saing PT kita rendah dan jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.              Menurut data dari QS World University Rangkings tahun 2014, Universitas Indonesia (UI) sebagai kampus nomor wahid di Indonesia bahkan terus merosot peringkatnya dari sebelumnya tahun 2012 ada diurutan  273, tahun 2013 diposisi 309, dan kini pada tahun 2014/2015 berada pada peringkat 310 dunia. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Singapura dimana PT-nya terus naik peringkat sejak 2012 sampai sekarang.              Tercatat peringkat National University of Singapore berturut-turut  dari tahun 2012 sampai 2014 adalah: 25, 24, dan 22. Sedangkan Nanyang Technological University juga melesat dari peringkat 47 pada 2012 dan menjadi peringkat 39 di 2014. Ironisnya, kita

Berharap Buku Gratis

Setelah ditunggu-tunggu, Nahkoda baru Kemdikbud, Anies Baswedan akhirnya membuat gebrakan. Nasib kurikulum 2013 akhirnya berakhir di tangan pendiri Gerakan Indonesia Mengajar ini.             Kebijakan Mendikbud untuk menghentikan kurikulum 2013, tentu tidak menyulitkan bagi guru-guru untuk kembali kepada pola ajar era Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Namun bagaimana dengan kesiapan sarana penunjangnya, khususnya buku? Ada satu keunggulan terkait dengan buku-buku yang dipakai pada kurikulum 2013, yaitu disediakan gratis. Sedangkan buku-buku di  masa berlakunya KTSP mesti dibeli oleh siswa. Bahkan, sekolah kerap bermain mata dengan penerbit buku tertentu.             Buku merupakan elemen wajib dalam sebuah pembelajaran di institusi formal bahkan informal sekalipun. Namun disisi lain, akses untuk mendapatkan buku masih sangat minim. Apalagi, sekolah kerap memonopoli pendidikan dengan bahan ajar dari buku tertentu. Misalnya saja ulangan harian atau ujian sekolah ya

Babak Baru Ujian Nasional

Pasca Ujian Nasional (UN) dinyatakan sebagai alat pemetaan pendidikan dan bukan sebagai alat kelulusan tidak membuat polemik UN surut dari perbincangan publik. Iwan Pranoto dalam artikelnya di Harian Kompas (7/1/15) bahkan secara bernas mempertanyakan urgensi diselenggarakannya UN pada tahun ini.             Pada kesempatan ini, penulis ingin mempertanyakan UN sebagai alat pemetaan yang ditawarkan oleh Kemdikbud. Utamanya, pemetaan dari aspek pendidikan nasional yang mana yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Sehingga, kehadiran UN bisa menjawab mengenai progres dari kualitas pendidikan nasional dan solusi untuk meningkatkannya.             Pertama, terkait dengan kualitas pendidikan, dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah telah menetapkan delapan standar pendidikan nasional yang meliputi: standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.             Pert

KIP dan Akses Pendidikan

Pemerintahan baru telah resmi meluncurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk semua anak usia sekolah yang berasal dari keluarga tidak mampu. Konsep KIP berbeda dengan Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang hanya menyasar anak-anak dari keluarga miskin yang masih duduk di bangku sekolah. Meskipun begitu, tujuannya tetap sama, agar akses terhadap pendidikan bisa semakin luas. Tak bisa dipungkiri, akses masyarakat terhadap pendidikan memang masih jauh dari harapan. Dari data Kemdikbud tahun 2011/2012 tercatat sekitar 300 ribu anak putus sekolah dari total 30 juta murid di SD/MI. Selanjutnya, 180 ribu anak dari 12 juta murid putus sekolah di SMP/MTs. Penyebab tinginya angka putus sekolah tersebut sebagian besar ( 60% ) karena persoalan ekonomi. Laporan BPS tahun 2013 mengenai angka partisipasi kasar (APK) juga memprihatinkan. Dari jenjang SD hingga Perguruan Tinggi, hanya tingkat SD/MI yang memiliki APK lebih dari 100%, sedangkan untuk SMP/MTs: 85,69%, SMA/MA: 66,27%, dan Perguruan Ti