Berharap Buku Gratis

Setelah ditunggu-tunggu, Nahkoda baru Kemdikbud, Anies Baswedan akhirnya membuat gebrakan. Nasib kurikulum 2013 akhirnya berakhir di tangan pendiri Gerakan Indonesia Mengajar ini.
           
Kebijakan Mendikbud untuk menghentikan kurikulum 2013, tentu tidak menyulitkan bagi guru-guru untuk kembali kepada pola ajar era Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Namun bagaimana dengan kesiapan sarana penunjangnya, khususnya buku? Ada satu keunggulan terkait dengan buku-buku yang dipakai pada kurikulum 2013, yaitu disediakan gratis. Sedangkan buku-buku di  masa berlakunya KTSP mesti dibeli oleh siswa. Bahkan, sekolah kerap bermain mata dengan penerbit buku tertentu.
           
Buku merupakan elemen wajib dalam sebuah pembelajaran di institusi formal bahkan informal sekalipun. Namun disisi lain, akses untuk mendapatkan buku masih sangat minim. Apalagi, sekolah kerap memonopoli pendidikan dengan bahan ajar dari buku tertentu. Misalnya saja ulangan harian atau ujian sekolah yang materinya diambil dari salah satu penerbit. Hal ini semakin mengalienasi peserta didik dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
           
Selama ini, kemerdekaan untuk menggali sumber-sumber pengetahun lain di luar buku-buku yang direkomendasikan oleh guru dan sekolah belum terwujud. Hubungan yang terjalin antara pendidik dan yang dididik adalah relasi antara penguasa dan yang dikuasai. Guru sangat superior dan murid diposisikan inferior. Wajar saja bila peserta didik menjadi miskin gagasan.
           
Peranan pemerintah terkait penyediaan buku ini menjadi penting lantaran Mendikbud sendiri belum memiliki solusi konkrit terkait pemenuhan buku akibat diberlakukannya kembali kurikulum KTSP. Pak menteri menyatakan peserta didik bisa menggunakan buku-buku milik kakak kelas. Namun, kecil kemungkinannya buku-buku lama masih beredar pasca penerapan kurikulum 2013. Selanjutnya, Anies juga menyatakan kebijakan buku tergantung sekolah masing-masing. Ini berarti peluang menjadikan peserta didik pasar bagi para pengusaha buku terbuka lebar.
           
Karena buku merupakan pokok, maka kebijakan untuk kembali ke kurikulum KTSP seyogyanya tidak membebani murid dan para walinya. Pemerintah harus mampu melindungi peserta didik dari persekongkolan jahat antara sekolah dengan para penerbit buku.

Penulis membayangkan, meski menggunakan kurikulum lama, pemerintah tetap dapat menyediakan buku gratis kepada peserta didik. Apa susahnya kaum cerdik pandai di Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud merancang buku-buku paket yang bisa dipakai di sekolah. Sehingga, pihak sekolah tak punya alasan untuk memaksakan penggunaan buku-buku yang berasal dari luar. Bila mahasiswa tidak ada kewajiban untuk membeli buku, maka pola ini harusnya bisa juga diterapkan di sekolah-sekolah.
           
Langkah ini juga akan semakin mudah dengan pesatnya perkembangan jaringan internet di kota-kota besar khususnya. Sehingga bahan ajar atau buku digital (ebook) menjadi sebuah keniscayaan dan mampu menekan biaya. Sehingga kebijakan asimetris bisa diterapkan terkait dengan penyediaan buku-buku mata pelajaran. Misalnya, untuk daerah pedesaan dan terpencil pemerintah bisa mengirimkan buku-buku cetak. Sedangkan untuk daerah perkotaan, sekolah atau siswa bisa mengunduh dari website Kemdikbud. Tapi jangan seperti ebook yang pernah ada sebelumnya, selain tidak komplit, buku juga susah diunduh.
Selanjutnya, Kemdikbud juga bisa bersinergi dengan perpustakaan nasional untuk menyediakan buku-buku pelajaran yang bisa dipakai oleh peserta didik sesuai dengan jenjang pendidikannya. Sehingga, buku ajar bisa ditemui dengan mudah di perpustakaan sekolah, perpustakaan daerah, perpustakaan komunitas, dan bahkan perpustakaan PKBM yang kerap mendapatkan hibah buku.
           
Perusahaan-perusahaan, baik BUMN maupun swasta juga dapat didorong untuk ikut membantu mensukseskan pemenuhan materi ajar ini dengan program CSR-nya. Tidak ada yang mustahil bila pengambil kebijakan (decision maker) bersungguh-sungguh ingin mencerdaskan kehidupan bangsa.
           

Tersedianya materi ajar yang berlimpah akan membuka akses bagi peserta didik terhadap pengetahuan. Sehingga, cita-cita menuju pendidikan yang berkeadilan bisa berjalan on the track. Tidak ada ruginya menanamkan investasi besar demi generasi bangsa yang unggul. Bila ingin revolusi mental, mulailah dekatkan generasi bangsa ini dengan buku-buku.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial