Belajar dari Kepemimpinan Soekarno
Pada
kesempatan ini, saya kembali menawarkan Soekarno, presiden pertama RI sebagai
contoh pemimpin yang menurut saya memiliki banyak kesamaan dengan berbagai
perspektif yang telah didiskusikan dalam perkuliahan selama ini. Bukan berarti
presiden yang lain tidak layak menyandang predikat good leader atau success
leader, hanya saja Bung Karno memiliki lebih banyak ciri untuk membantu
kita memahami studi tentang kepemimpinan.
Menurut Deborah Ancona, dkk (2007),
dalam studinya bertajuk “In Praise of the Incomplete Leader” ada empat
kemampuan dasar yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu: sensemaking, visioning, relating, dan
inventing.
Sensemaking
merujuk pada kemampuan seseorang untuk memahami lingkungan sekitarnya dan
perubahan yang menyertainya. Pemimpin mesti mampu membaca situasi dan melihat
tantangan yang akan dihadapi organisasinya di masa mendatang. Dalam hal ini
seseorang mesti mampu meyakinkan followers-nya
bahwa segala bentuk perubahan yang akan dihadapi kelak adalah nyata.
Visioning
merupakan kemampuan memberikan gambaran cita-cita yang diharapkan oleh
orang-orang dalam organisasi. Pemimpin mesti bisa meletakkan mimpi bersama yang
hendak diwujudkan bersama. Visi memberikan arah ke mana organisasi akan
dijalankan.
Relating
adalah bagaimana seseorang mampu membangun hubungan yang berdasar pada
kepercayaan satu sama lain (based on trust). Hubungan tak hanya melibatkan
pemimpin dengan bawahannya, tapi juga dengan jaringan di luar organisasi.
Hubungan yang harmonis antara internal dan eksternal mempermudah pemimpin
“menjahit” segala potensi yang ada untuk mencapai mewujudkan visi.
Inventing
membutuhkan kecerdasan. Karena seorang pemimpin diharapkan mampu mencari cara
lain dalam menjalankan organisasi. Pemimpin dituntut untuk bisa mengatasi
masalah yang mungkin sulit untuk dipecahkan. Kemampuan untuk menemukan sesuatu
yang baru bisa merubah visi menjadi sesuatu yang nyata.
Bagaimana dengan kepemimpinan
Soekarno? Kemampuan sensemaking Soekarno
nampak dari Otobiografinya (1971) Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat. “Pada pertengahan tahun-tahun tiga puluhan aku
meramalkan bahwa Jepang akan mengikuti Hitler untuk melawan Inggris dan Amerika
di Lautan Teduh dan bahwa dengan lindungan peristiwa ini Indonesia akan
memperoleh kemerdekaannya. Sejak dari waktu itu aku memperhitungkan, kapan
perang Asia akan berkobar dan berapa lama perang itu berlangsung dan aku menyimpulkan,
bahwa mata rantai yang lemah dari rantai imperialisme Jepang adalah Indonesia. .....Aku
bahkan menulis suatu cerita sandiwara mengenai keyakinanku berjudul Indonesia
'45.”
Dari sisi visi, sudah banyak
digambarkan dalam berbagai buku bahwa visi besar Soekarno adalah Indonesia
merdeka dan persatuan. “Ke
sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu Nationale Staat, di
atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian”
(Pidato 1 Juni 1945).
Tak hanya itu, Soekarno juga ingin
bangsanya menjadi bangsa mandiri yang berdaulat di bidang politik, berdikari di
bidang ekonomi, berkepribadian dibidang kebudayaan (Pidato Tavip, 17 Agustus
1964).
Terkait dengan relating, Bung Karno tak hanya piawai menjaga hubungannya dengan
rakyatnya, tapi juga dengan pimpinan negara-negara lain. Ikatan hubungan yang
cukup kuat dengan rakyat (internal), mampu memompa semangat masyarakat untuk
tetap mempertahankan kemerdekaan, pembebasan Irian Barat, dan bahkan saat
bersitegang dengan Malaysia. Tak hanya dengan rakyatnya, hubungan Soekarno
dengan pemimpin negara lain juga bagus. Hal ini diperlihatkan saat sang
proklamator berhasil menghimpun kekuatan di Asia dan Afrika. Tak berhenti
dengan menyatukan kekuatan Asia dan Afrika, Soekarno juga berhasil membentuk poros
Jakarta-Peking. Membentuk New Emerging
Force (NEFO) dan bahkan menyelenggarakan Games of New Emerging Force
(GANEFO).
Kemampuan inventing Soekarno antara lain nampak dari rencananya mempersiapkan
Palangkaraya sebagai pengganti Jakarta yang memang sudah tidak layak menyandang
predikat Ibu Kota. Sayangnya, rencana itu gagal terlaksana karena suhu politik
yang makin tidka kondusif pada tahun 1960-an.
Inventing
juga nampak dari perumusan ideologi dan dasar negara yang digagas Bung
Karno. Presiden pertama RI tersebut, menamakan ajarannya marhaenisme, bukan
komunisme ataupun sosialisme. Meskipun banyak kesamaan dengan marxisme, namun
marhaenisme dianggap varian yang paling pas dengan Indonesia, karena penekannya
pada rakyat kecil (wong cilik) bukan hanya buruh sebagaimana yang kemukakan
Karl Marx.
Terkait dengan dasar negara,
Soekarno juga tidak mau terjebak dalam konsep negara Islam, fasis, komunis, ataupun
liberal yang berkembang masa itu. Soekarno mengatakan pancasila sebagai dasar
negara, yang apabila digali lebih dalam merupakan sebuah kompromi terhadap
nilai-nilai masyarakat Indonesia secara umum. Soekarno kerap mengemukakan
ide-idenya yang sudah disesuaikan dengan kearifan lokal bangsanya.
Comments