Posts

Showing posts from 2014

KIP dan Akses Pendidikan

Pemerintahan baru telah resmi meluncurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk semua anak usia sekolah yang berasal dari keluarga tidak mampu. Konsep KIP berbeda dengan Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang hanya menyasar anak-anak dari keluarga miskin yang masih duduk di bangku sekolah. Meskipun begitu, tujuannya tetap sama, agar akses terhadap pendidikan bisa semakin luas. Tak bisa dipungkiri, akses masyarakat terhadap pendidikan memang masih jauh dari harapan. Dari data Kemdikbud tahun 2011/2012 tercatat sekitar 300 ribu anak putus sekolah dari total 30 juta murid di SD/MI. Selanjutnya, 180 ribu anak dari 12 juta murid putus sekolah di SMP/MTs. Penyebab tinginya angka putus sekolah tersebut sebagian besar ( 60% ) karena persoalan ekonomi. Laporan BPS tahun 2013 mengenai angka partisipasi kasar (APK) juga memprihatinkan. Dari jenjang SD hingga Perguruan Tinggi, hanya tingkat SD/MI yang memiliki APK lebih dari 100%, sedangkan untuk SMP/MTs: 85,69%, SMA/MA: 66,27%, dan Perguruan Ti

Gerak Lambat Pendidikan

Banyak kalangan mulai meragukan kiprah Anies Baswedan sebagai juru mudi baru Kemdikbud. Pasalnya, penggiat "Indonesia Mengajar" tersebut belum membuat terobosan yang berarti di sektor pendidikan. Padahal, sebagai penggiat pendidikan, pak menteri harusnya bisa langsung berlari kencang membenahi problem pendidikan yang selama ini juga ia kritik. Publik pun tak bisa berharap banyak, karena elite pemerintahan di republik ini memahami konsep pendidikan secara parsial dan minus filosofi. Setelah pemerintah memisahkan pendidikan tinggi dari pendidikan dasar dan menengah, DPR juga mengikuti langkah tersebut dengan menempatkan pendidikan tinggi sebagai mitra Komisi VII yang selama ini fokus pada lingkup energi dan lembaga riset. Rupanya, pendidikan tinggi tak lagi dikategorikan sebagai pendidikan. Sehingga tak lagi disandingkan dengan lingkup  pendidikan, kebudayaan, dan perbukuan yang menjadi mitra Komisi X. Meski tak menyalahi aturan, namun pengelompokkan ini menunjukkan u

Berantas Pengangguran Terdidik

Di penghujung September lalu, Harian Kompas mewartakan kabar mengenai tingginya jumlah pengangguran terdidik di Indonesia. Tercatat lebih dari 600.000 lulusan perguruan tinggi di Indonesia menganggur (Kompas, 29/9/14). Celakanya, mayoritas kaum terdidik yang menganggur tersebut merupakan lulusan sarjana, yaitu sebanyak 420.000 orang, sedangkan sisanya adalah lulusan diploma. Jika tidak disikapi dengan serius, kondisi ini dikuatirkan akan terus memburuk saat memasuki ASEAN Economic Community pada tahun depan. Pasalnya, para pencari kerja tidak hanya bersaing dengan pelamar dari dalam negeri, tapi juga dari negara-negara ASEAN lainnya.  Lulusan dari kampus-kampus lokal dipaksa berduel dengan lulusan dari negara-negara lain, yang standarnya lebih tinggi. Bisa jadi, beberapa tahun ke depan, jabatan-jabatan strategis di perusahaan-perusahaan multinasional, perusahaan lokal yang bonafide , bahkan office boy menjadi milik warga negara asing.             Meskipun begitu, ancaman te

Mendebat Kementerian Kebudayaan

Image
Sumber: Diolah dari www.smkn4jkt.sch.id RUU tentang Kebudayaan hampir memasuki babak akhir, namun masih ada sebagian masyarakat yang mengkritik. Antara lain ihwal adanya konsideran yang memuat dasar lahirnya RUU tersebut karena adanya ketakutan akan pengaruh globalisasi terhadap budaya nasional.       Pada prinsipnya, RUU tentang kebudayaan memberi banyak ruang untuk pelestarian dan pengelolaan budaya agar tercipta ketahanan budaya. Jadi bukan sekedar memproteksi diri dan enggan membangun budaya lokal ataupun nasional. Dalam RUU tersebut jelas disebutkan mengenai usaha untuk mengelola dan membangun budaya nasional, seperti pada poin pengelolaan, perencanaan, dan pengembangan jati diri bangsa. Hanya saja, perbedaan persepsi ini mesti didiskusikan lebih lanjut. Misalnya, pengaruh globalisasi ataukah budaya asing yang sejatinya dikuatirkan oleh pembuat UU? Kemudian wujud dampak negatif yang dimaksudkan. Terlepas dari kritik tersebut, ada hal yang sangat krusial dan selama in

Memaksimalkan Peran Pemerintah, Perguruan Tinggi, dan Swasta dalam Menciptakan Inovasi Daerah

Image
Dalam pergaulan internasional dewasa ini, antara negara yang satu dengan lainnya seakan tak ada lagi sekat pemisah ( borderless ). Berbagai kerjasama baik bilateral maupun multilateral dibentuk oleh negara-negara di dunia. Akhirnya berbagai kerjasama di berbagai bidang dari mulai politik, ekonomi, hingga pertahanan dan keamananan seakan menjadi sebuah keniscayaan. Muara dari semua bentuk kebijakan lintas negara ini utamanya adalah menyangkut usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini didorong oleh kebutuhan ekonomi yang menuntut adanya ketersediaan bahan baku dan pasar yang lebih luas. Sulit rasanya bila kedua hal ini dilakukan oleh masing-masing negara dalam cakupan nasional tanpa melibatkan masyarakat internasional. Untuk itu dilakukanlah kerjasama antar negara yang kemudian menyebabkan arus keluar masuk barang dan jasa “dari dan ke” negara lain begitu bebas dan terbuka. Secara umum, kebijakan ini memang mampu mengatasi adanya keterbatasan bahan baku dan pasar yang dim

Karut-Marut Beasiswa

Belum lama ini, Presiden SBY menghadiahi beasiswa kepada Raeni, anak tukang becak yang menjadi lulusan terbaik di kampusnya (Kompas, 13/6/2014). Kabar ini tentu menggembirakan bagi Raeni dan memantik asa jutaan pelajar dan mahasiswa untuk bisa merasakan hal yang sama, yakni mendapatkan beasiswa pendidikan. Tapi taukah kita, termasuk presiden SBY, bahwa saat ini pengelolaan beasiswa masih karut-marut dan justru memberatkan para penerimanya. Salah satunya adalah beasiswa unggulan yang saat ini dikelola oleh Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri (BPKLN) Kemdikbud. Informasi dari Kemdikbud menyebutkan bahwa persoalan ini bukanlah karena ketiadaan anggaran, melainkan adanya gangguan dalam aplikasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) di Kemenkeu. SPAN ini sendiri merupakan proyek ambisius pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara secara terintegrasi untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Sayangnya, proyek yang telah digagas sej