KIP dan Akses Pendidikan

Pemerintahan baru telah resmi meluncurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk semua anak usia sekolah yang berasal dari keluarga tidak mampu. Konsep KIP berbeda dengan Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang hanya menyasar anak-anak dari keluarga miskin yang masih duduk di bangku sekolah. Meskipun begitu, tujuannya tetap sama, agar akses terhadap pendidikan bisa semakin luas.

Tak bisa dipungkiri, akses masyarakat terhadap pendidikan memang masih jauh dari harapan. Dari data Kemdikbud tahun 2011/2012 tercatat sekitar 300 ribu anak putus sekolah dari total 30 juta murid di SD/MI. Selanjutnya, 180 ribu anak dari 12 juta murid putus sekolah di SMP/MTs. Penyebab tinginya angka putus sekolah tersebut sebagian besar (60%) karena persoalan ekonomi.

Laporan BPS tahun 2013 mengenai angka partisipasi kasar (APK) juga memprihatinkan. Dari jenjang SD hingga Perguruan Tinggi, hanya tingkat SD/MI yang memiliki APK lebih dari 100%, sedangkan untuk SMP/MTs: 85,69%, SMA/MA: 66,27%, dan Perguruan Tinggi: 23,06%.

Melihat statistik tersebut, penulis mahfum bila pemerintah ingin menggenjot akses masyarakat terhadap pendidikan. Namun kita semua mesti ingat, bahwa akses pendidikan bukan sekedar persoalan rendahnya kemampuan finansial masyarakat, tapi juga terkait dengan faktor-faktor lainnya.

Kondisi geografis Indonesia dengan berbagai topografi turut mempengaruhi rendahnya akses masyarakat terhadap pendidikan. Sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah belum mampu menjangkau sampai kepelosok negeri. Akhirnya, ada daerah-daerah yang masih kekurangan sekolah.

Kondisi ini kemudian menyebabkan masyarakat di beberapa tempat harus berjuang keras untuk dapat bersekolah. Tak jarang dari mereka harus melawan maut, seperti yang pernah kita saksikan di Lebak, Banten dengan tragedi “jembatan Indiana Jones”.

Parahnya lagi, kebijakan pembangunan unit sekolah baru kerap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Banyak sekolah yang didirikan di daerah yang jauh dari pemukiman penduduk. Alasannya adalah harga tanah yang lebih murah. Hasilnya, masyarakat kesulitan untuk mencapai sekolah tersebut, karena jaraknya jauh, serta tidak didukung dengan sarana jalan dan transportasi yang memadai.

Akses terhadap pendidikan melalui KIP memang baik, tapi akan menemui ganjalan dan cenderung kontra produktif jika tidak didukung dengan pembangunan unit-unit sekolah baru yang mudah diakses oleh masyarakat. Menurut Bank Dunia, sebagaimana dikutip oleh Samer Al-Samarrai (2013), Indonesia setidaknya membutuhkan 6,4 juta sekolah tambahan untuk menampung semua anak usia 7-18 tahun (mayoritas di tingkat SMA).

Untuk memberikan akses pendidikan di daerah terpencil, bisa dilakukan dengan memaksimalkan pembangunan sekolah berasrama yang selama ini kurang gesit pengerjaannya. Kemitraan dengan negara lain juga bisa dimaksimalkan, seperti kerjasama yang saat ini telah dilakukan dengan pemerintah Australia. Pengurangan subsidi barang, seperti BBM yang baru saja diumumkan juga bisa dialihkan ke sektor ini.

Selain itu, infrastruktur penunjang sebagai akses untuk menuju sekolah juga perlu dikembangkan. Disinilah bukti bahwa membangun pendidikan merupakan kerja keras lintas sektoral.

Selanjutnya, syarat dan ketentuan (terms and conditions) dalam penyaluran KIP juga perlu dibuat. Hal ini agar masyarakat bertanggungjawab terhadap bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Misal, bila KIP diberikan, namun anak tetap tidak bersekolah, maka pemberian KIP harus dihentikan, termasuk bila anak yang menerima KIP melanggar norma hukum dan aturan-aturan di sekolahnya.

Hambatan lainnya terkait upaya membuka seluas-luasnya kesempatan bersekolah adalah mindset dan kultur masyarakat itu sendiri. Masih banyak orang tua, khususnya yang tinggal di pedalaman menganggap anak sebagai aset yang akan membantu mengurus ladang dan ternak, serta merawat mereka di hari tua. Sehingga sekolah masih belum dianggap penting.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah bisa memaksimalkan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), yakni dengan mengevaluasi besaran uang dan sasaran penerima. KKS bisa menjadi jaminan bagi orang tua agar merelakan anaknya untuk sekolah.

KIP tanpa pengelolaan yang tepat dan tanpa dukungan kebijakan pendidikan lanjutan yang bersifat lintas sektoral tidak akan mampu membawa dampak yang signifikan dalam meningkatkan APK pendidikan. KIP juga hanya akan menjadi cemoohan bila tidak lebih baik dari BSM, Kartu Jakarta Pintar (KJP), dan sederet program pendidikan gratis lainnya yang telah diaplikasikan di daerah-daerah.


Lebih lanjut, KIP hanyalah pintu gerbang untuk mencerdaskan manusia Indonesia. Sudah saatnya, jargon: kerja-kerja direalisasikan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Berikan akses yang besar bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan, bangkitkan kesadaran publik akan pentingnya pendidikan, dan terakhir tingkatkan kualitas pendidikan nasional. 

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial