Gerak Lambat Pendidikan
Banyak
kalangan mulai meragukan kiprah Anies Baswedan sebagai juru mudi baru
Kemdikbud. Pasalnya, penggiat "Indonesia Mengajar" tersebut belum
membuat terobosan yang berarti di sektor pendidikan. Padahal, sebagai penggiat
pendidikan, pak menteri harusnya bisa langsung berlari kencang membenahi
problem pendidikan yang selama ini juga ia kritik.
Publik
pun tak bisa berharap banyak, karena elite pemerintahan di republik ini
memahami konsep pendidikan secara parsial dan minus filosofi. Setelah pemerintah
memisahkan pendidikan tinggi dari pendidikan dasar dan menengah, DPR juga
mengikuti langkah tersebut dengan menempatkan pendidikan tinggi sebagai mitra
Komisi VII yang selama ini fokus pada lingkup energi dan lembaga riset.
Rupanya,
pendidikan tinggi tak lagi dikategorikan sebagai pendidikan. Sehingga tak lagi
disandingkan dengan lingkup pendidikan,
kebudayaan, dan perbukuan yang menjadi mitra Komisi X. Meski tak menyalahi
aturan, namun pengelompokkan ini menunjukkan upaya untuk mengalienasi
pendidikan tinggi dari konsep-konsep pembelajaran dan pembudayaan.
Karena
kegagalan dalam mengonsepsikan pendidikan, kebijakan pendidikan yang dicanangkan
pun melulu soal uang. Akhirnya kebijakan populis dipilih, baik itu melalui
"kartu indonesia pintar" maupun janji peningkatan gaji dan tunjangan
guru. Memang tidak salah, tapi apakah kebijakan tersebut sudah dievaluasi?
Dari
mana kita semua tahu, bahwa bantuan uang kepada siswa, baik bentuknya BSM,
maupun sekarang dengan KIP mampu meningkatkan akses pendidikan masyarakat? Tiap
rupiah yang digelontorkan mampu meningkatkan akses pendidikan berapa persen?
Bagaimana data penerima benar-benar bisa tepat sasaran?
Selanjutnya,
Benarkah hanya dengan "menebalkan' dompert guru-guru, maka pendidikan kita
bisa lebih baik? Kenapa doktrin "guru pahlawan tanpa tanda jasa" era
Orde Baru justru mampu membangun militansi guru-guru? Bukankah Anies Baswedan
mampu menggerakkan ribuan muda-mudi untuk berkarya di daerah-daerah terpencil?
Sepertinya
pemerintah perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan program konkrit di
sektor pendidikan dengan skala pengukuran yang jelas. Bukan hanya sekedar LAKIP
yang selama ini dibanggakan oleh instansi-instansi pemerintah dan hanya berisi
indikator administratif belaka.
Publik
juga tidak ingin bila hanya disuguhkan kunjungan menteri ke sekolah-sekolah
dengan alasan untuk melihat problem pendidikan. Hal itu tidaklah memberi nilai
tambah di mata publik. Tapi malah membuat publik sangsi dengan kapabilitas dan
kompetensi pak menteri.
Kami
tidak ingin sektor pendidikan dikelola dengan kepemimpinan yang menterinya
melompati pagar ataupun masuk-masuk ke pasar tradisional sebagaimana dipraktikan
menteri-menteri lainnya. Sebagai orang yang dianggap mumpuni mengelola sektor
pendidikan tentu publik berharap lebih dari sekedar blusukan.
Publik
butuh tawaran kebijakan yang terukur untuk sama-sama menciptakan optimisme
bahwa akan ada perbaikan di sektor pendidikan, seperti: Bagaimana Kemdikbud
mengelola pelatihan yang diperuntukkan untuk meningkatkan kualitas guru-guru?
Bagaimana pemerintah menjawab permasalahan guru-guru honorer? Apa yang akan
dilaksanakan oleh pemerintah untuk memperbaiki kuantitas dan kualitas
pendidikan saudara-saudara kita yang ada di pelosok? Bagaimana 20% anggaran
pendidikan bisa dikelola dengan tepat dan bijaksana?
Kegelisahan
publik semacam ini mesti segera dijawab oleh pemerintah. Masyarakat dan segenap
stakeholders pendidikan harus
mendapatkan sosialisasi mengenai kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Selain
sebagai wujud transparansi, sosialisasi kepada publik juga dalam rangka
menjamin terciptanya demokrasi deliberatif. Agar publik mengetahui, sejauh mana
aspirasi publik di akomodasi oleh pemerintah menjadi kebijakan yang berasal
dari rakyat dan untuk rakyat (bottom-up).
Comments