Jalur Undangan yang Menyesatkan



Niatan pemerintah untuk mereduksi ujian tertulis sebagai instrumen untuk menjaring calon mahasiswa baru mulai diwujudkan. Kepala sekolah pun dibuat sibuk karena harus melakukan pengisian data dan nilai siswa dalam Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) terhitung 17 Desember hingga 8 Februari 2013. Terobosan pemerintah yang akan mengedepankan jalur masuk perguruan tinggi melalui jalur undangan ini dipastikan akan merubah komposisi kuota penerimaan mahasiswa baru tahun depan.
Pada tahun ini, jalur undangan dan tulis mendapat kuota 60%, sedangkan sisanya untuk ujian mandiri. Namun pada 2013, jalur undangan (SNMPTN) mendapat kuota 60%, ujian tulis (SBMPTN) 30%, dan ujian mandiri (UM) 10% (Kompas,14/12/12). Meskipun begitu, komposisi kuota penerimaan dari tiga jalur tersebut tidak baku, tergantung dari kebijakan kampus masing-masing. Hanya saja jalur undangan harus mendapatkan porsi sedikitnya 50%, ujian tulis minimal 30%, dan ujian mandiri maksimal 20% (Suara Merdeka, 13/12/12).
Langkah yang diambil oleh pemerintah patut diapresiasi dalam hal kesempatan (opportunity) bagi semua kelas ekonomi untuk bisa mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi karena pemerintah membebaskan biaya pendaftaran (gratis). Namun disisi lain, apakah mereka memiliki kesempatan yang sama untuk bisa diterima diperguruan tinggi (acceptable)?
Menurut penulis, langkah untuk memprioritaskan jalur undangan dalam seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan semakin memarginalkan kelas ekonomi bawah (low class economy). Selain itu, mekanisme jalur undangan juga tidak memberikan rasa keadilan bagi siswa yang bersekolah di daerah pedalaman atau Terdepan, Teringgal, Terluar (3T).
Pandangan ini nyata, lantaran infrastruktur dan kualitas pendidikan di Indonesia masih timpang antara pusat dan daerah. Kondisi ini semakin diperparah dengan makin terkotak-kotaknya pendidikan nasional dengan label Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI), serta Sekolah Internasional.
Segregasi ini, selanjutnya menciptakan sebuah persaingan yang tidak sehat antara sekolah yang satu dengan lainnya. Kursi perguruan tinggi dibagi tidak berdasarkan kualitas individu siswa, melainkan dengan pertimbangan kinerja sekolah (peringkat atau akreditasi sekolah). Persaingan tidak lagi antara siswa secara nasional, namun antar sekolah. Alhasil, nilai 9 di SMAN 1 Tolitoli akan kalah dengan nilai yang sama di SMAN 8 Jakarta. Jika sudah demikian, maka dapat dipastikan PTN unggulan hanya milik 10 besar sekolah terbaik nasional dan parahnya lagi PTN hanya akan menjadi milik beberapa sekolah saja yang dianggap memiliki kinerja yang bagus.
Padahal, persaingan perebutan kursi PTN akan menjadi menarik apabila seluruh siswa bersaing secara personal dengan ujian tertulis yang lingkupnya nasional. Naif rasanya bila persaingan antar ribuan siswa (jalur ujian tulis) disebut lebih rendah kualitasnya ketimbang persaingan antar siswa dalam satu sekolah (jalur undangan).
Data yang menunjukan bahwa mahasiswa jalur undangan lebih konsisten prestasinya tidak bisa dijadikan perbandingan dengan mahasiswa jalur tulis. Sebab, jumlah mahasiswa jalur undangan lebih sedikit bila dibandingkan dengan jalur tulis dan ujian mandiri. Bila skemanya dibalik (jalur undangan lebih besar proporsinya) akankah data yang muncul terkait dengan konsistensi prestasi mahasiswanya bisa sama dengan sebelumnya?
Yang pasti, persaingan antar sekolah ini hanya memberikan akses PTN bagi orang berpunya, karena sekolah unggulan didominasi kelas menengah-atas. Kelompok yang berasal dari low class economy selanjutnya hanya bisa menjadi saksi atas determinasi high class economy yang disadari atau tidak difasilitasi oleh negara.
Meskipun begitu, sekolah tentu tidak ingin menyerah begitu saja atas dominasi sekolah lain. Sekolah akan berusaha dengan segala cara agar mampu bersaing dengan sekolah-sekolah lain yang mungkin levelnya lebih tinggi. Bila yang terjadi kemudian adalah peningkatan kualitas dan prestasi dengan perbaikan pada metode pengajaran, tentu sangat baik. Tapi menjadi bahaya bila kemudian langkah instan dan pragmatis yang justru ditempuh oleh sekolah. Ini akan menjadi dampak laten bagi diterapkannya penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan, yakni lahirnya kecurangan yang tersistematis (systemic fraud) yang dilakukan oleh sekolah-sekolah.
Bagi sekolah, semakin banyak siswanya yang diterima di PTN akan semakin menaikan gengsi (prestige) sekolahnya. Untuk itu, mengatrol nilai siswa menjadi salah satu cara efektif. Hal ini juga bisa dikapitalisasi oleh guru untuk melakukan jual beli nilai kepada siswa dengan kedok bimbingan belajar atau les. Alhasil, nilai bagus lebih mudah didapat dengan membayar sejumlah uang kepada guru dengan dalih untuk les.
Praktik kecurangan ini sudah diantisipasi oleh pemerintah dengan menerapkan sanksi dari mulai black list terhadap sekolah yang bersangkutan hingga pelarangan untuk mengirim siswa melalui jalur undangan. Namun sanksi ini tidaklah menyelesaikan masalah karena hanya mengorbankan peserta didik. Peserta didik yang menjadi objek dari kecurangan pihak sekolah ini menjadi hilang kesempatannya untuk bisa diikutkan dalam seleksi penerimaan mahasiswa melalui jalur undangan. Mereka hanya bisa mengikuti seleksi melalui ujian tulis yang kuotanya sedikit atau melalui jalur mandiri yang memakan biaya sangat besar. Pada intinya kebijakan sanksi ini lebih merugikan siswa ketimbang sekolah.
Akhirnya, kebijakan mengenai seleksi masuk perguruan tinggi yang lebih memprioritaskan jalur undangan ini patut dipertanyakan motivasinya. Karena kebijakan ini sama sekali tidak memperlihatkan spirit untuk memberikan akses pendidikan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Di gratiskannya uang pendaftaran masuk PTN yang berkisar Rp.150.000 sampai Rp.170.000 ternyata membawa bahaya laten yang luar biasa buruk. Sedangkan argumen pemerintah soal kualitas mahasiswa jalur undangan juga masih perlu dikaji lebih lanjut.
Kebijakan ini sendiri selanjutnya mengindikasikan kelemahan pemerintah dalam melakukan riset sebelumnya. Maka wajar bila antara kebijakan pemerintah dengan kebutuhan masyarakat sering tidak sinkron. Pemerintah tak ubahnya seperti dokter yang salah diagnosa. Kebijakannya justru memperburuk kondisi yang ada.

(Koran Kompas, 3 Januari 2013)

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial

Gerak Lambat Pendidikan