RSBI belum Habis


Di tengah kondisi pendidikan Indonesia yang karut-marut, harapan untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang berpihak pada kaum tak berpunya kembali muncul. Semilir angin perubahan kembali berhembus pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan konsep Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI) yang termaktub dalam pasal 50 ayat (3) UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
RSBI/SBI yang selama ini menjadi polemik di masyarakat akhirnya menemui titik terang. Penulis menggunakan istilah titik terang lantaran perjuangan untuk membebaskan dunia pendidikan dari belenggu diskriminasi belumlah usai. Pemerintah harus segera membuat rumusan baru yang mengakomodir RSBI/SBI yang kasta pendidikannya terlanjur tinggi. Masyarakat juga patut mewaspadai kebijakan lanjutan sebagai konsekuensi dihapuskannya sekolah bertaraf internasional tersebut. Jangan sampai hanya namanya saja yang dihapus tapi substansinya masih sama.
Menurut hemat penulis, labeling atau penamaan model sekolah pengganti RSBI/SBI tidak terlalu penting. Apapun namanya, tak peduli apakah sekolah standar nasional (SSN) ataupun sekolah unggulan, yang pasti sekolah tersebut harus bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa mengurangi kualitas pendidikan. Sehingga, kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah (Kemendikbud) nanti, harus mengandung spirit anti diskriminasi.
Koordinasi antara pemerintah dan DPR juga harus segera dilakukan, agar alokasi anggaran yang sudah disediakan untuk RSBI/SBI tidak mengendap begitu saja. Payung hukum pengganti Permendiknas No.78 tahun 2009 tentang RSBI harus segera dirumuskan. Sehingga, alokasi dana untuk RSBI/SBI bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan lainnya. Jangan sampai dana yang mengendap justru menjadi bancakan legislatif dan eksekutif untuk biaya politik 2014.
Di luar hal tersebut, dua opsi Mendikbud untuk memanfaatkan anggaran RSBI/SBI sebagai dana hibah kompetisi bagi sekolah yang berprestasi dan penerapan kurikulum juga patut dikritisi. Pertama, karena batasan sekolah berprestasi yang dimaksud masih belum jelas acuannya. Jika hanya mengacu pada sekolah berprestasi menurut perspektif pemerintah, maka sudah dipastikan, sekolah yang akan mendapatkan kucuran dana tersebut adalah RSBI/SBI lagi.
Kemudian, langkah untuk mengalokasikan dana RSBI/SBI untuk keperluan kurikulum 2013 juga tidak tepat. Pasalnya, kurikulum 2013 sendiri masih menyisakan perdebatan. Selain itu, kurikulum 2013 juga sudah dianggarkan tersendiri dan memang dirancang bertahap, lantas untuk apalagi ada penambahan anggaran? Lagipula bergantinya kurikulum tidak membawa progress yang signifikan bagi pendidikan nasional.
Sebaiknya, anggaran RSBI/SBI dialokasikan guna peningkatan kualitas sekolah-sekolah yang selama ini tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana RSBI/SBI. Sehingga sekolah-sekolah tersebut bisa mengejar ketertinggalannya untuk menjadi sekolah berkualitas dan memenuhi standar nasional pendidikan.
Mewujudkan cita-cita pencerdasan kehidupan bangsa memang tak semudah membalikan telapak tangan. Kondisi dunia pendidikan yang menggunakan paradigma asing minded (RSBI/SBI, BHP) bahkan telah menjerumuskan dunia pendidikan pada jurang kegelapan. Hal ini juga semakin menegaskan inferioritas negara yang katanya kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Segala sesuatu yang berbau asing selalu dianggap bagus dan patut ditiru, tanpa melakukan filterisasi.
Kapitalisasi pendidikan (liberalisasi) dianggap sebagai jalan keluar atas buruknya kualitas pendidikan nasional. Subsidi dijadikan musuh oleh pemerintah. Pendidikan yang tadinya menjadi basis nation building berubah menjadi instrumen bagi langgengnya kastanisasi masyarakat. Tak ada bedanya pra-kemerdekaan dengan masa setelahnya. Tetap saja bahwa pendidikan hanya bisa dinikmati oleh kaum bangsawan (menengah-atas).
Ironisnya, hingga detik ini, pemerintah masih belum mampu membenahi diri. Program pendidikan yang diproyeksikan pemerintah tak lebih dari sekedar memenuhi kewajiban untuk melakukan penyerapan anggaran (menghabiskan) yang demikian besarnya. Payung hukum yang dibuatpun sering bertentangan dengan undang-undang dasar. Sebelum putusan MK yang membatalkan RSBI/SBI Mahkamah Agung (MA) juga pernah menganulir perihal ujian nasional dalam putusan No.2596 K/PDT/2008. Kemudian, MK juga pernah membatalkan UU BHP dalam putusan No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. Bahkan UU No.20 tahun 2003 yang kini masih diberlakukan sejatinya masuk dalam kategori inkonstitusional, sebab beberapa pasal di dalamnya sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. 


(Koran Tangselpos, 17 Januari 2013)

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial