Memaksimalkan Peran Pemerintah, Perguruan Tinggi, dan Swasta dalam Menciptakan Inovasi Daerah
Dalam pergaulan
internasional dewasa ini, antara negara yang satu dengan lainnya seakan tak ada
lagi sekat pemisah (borderless).
Berbagai kerjasama baik bilateral maupun multilateral dibentuk oleh
negara-negara di dunia. Akhirnya berbagai kerjasama di berbagai bidang dari
mulai politik, ekonomi, hingga pertahanan dan keamananan seakan menjadi sebuah
keniscayaan.
Muara dari semua
bentuk kebijakan lintas negara ini utamanya adalah menyangkut usaha peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini didorong oleh kebutuhan ekonomi yang menuntut
adanya ketersediaan bahan baku dan pasar yang lebih luas. Sulit rasanya bila
kedua hal ini dilakukan oleh masing-masing negara dalam cakupan nasional tanpa
melibatkan masyarakat internasional. Untuk itu dilakukanlah kerjasama antar
negara yang kemudian menyebabkan arus keluar masuk barang dan jasa “dari dan
ke” negara lain begitu bebas dan terbuka.
Secara umum,
kebijakan ini memang mampu mengatasi adanya keterbatasan bahan baku dan pasar
yang dimiliki oleh suatu negara untuk menumbuhkan perekonomian demi
kesejahteraan warga negaranya. Namun, disisi lain hal ini begitu merugikan bagi
negara-negara yang belum siap atau belum mampu untuk menghadapi gempuran
negara-negara maju. Negara yang dimaksud oleh penulis adalah negara miskin dan
negara sedang berkembang, seperti Indonesia.
Baik negara miskin
dan negara berkembang umumnya hanya menjadi pasar bagi negara maju. Jumlah
penduduk yang cukup besar di negara berkembang menjadi pasar potensial untuk
menjajakan barang dan jasa milik negara maju. Kekayaan alam yang dimiliki oleh
suatu negara bahkan banyak yang dikuasai oleh negara-negara maju. Alhasil, negara
berkembang dan miskin hanya mampu menjadi penonton. Sebagian mengatakan bahwa
negara yang demikian layaknya sapi perah. Sedangkan sebagian lainnya menyatakan
bahwa hal demikian merupakan bentuk penjajahan gaya baru (new imperialism).
Pangkal dari semua permasalahan
ini bisa kita lihat dari lemahnya daya saing yang dimiliki oleh negara-negara
miskin dan berkembang. Hal ini tentu tidak lepas dari minimnya kualitas sumber
daya manusia (SDM) yang yang dimiliki oleh negara-negara tersebut. Minimnya SDM
kemudian berimplikasi pada rendahnya inovasi suatu negara. Sehingga kita sering
melihat fenomena sebuah negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang begitu
melimpah dan seharusnya memiliki keunggulan komparatif tapi pada praktiknya
justru kalah bersaing dengan negara-negara yang miskin SDA.
Kondisi inilah yang
sedang membelit Indonesia. Dimana sebuah negara yang kaya namun minim daya
saing. Dalam laporan World Economic Forum (weforum.org, 2013) mengenai daya
saing negara-negara di dunia (Global
Competitiveness Index) tahun 2013-2014 menempatkan Indonesia pada urutan ke
38 dari 148 negara. Indonesia memang masih menempati peringkat menengah atas,
tapi jika dibandingkan negara-negara ASEAN, negara kita masih jauh tertinggal.
Dalam
penilaian daya saing yang disusun oleh World Economic Forum tersebut, Thailand
lebih tinggi satu peringkat dibandingkan Indonesia, yakni ranking 37. Sedangkan
negara ASEAN lainnya, seperti Brunei menduduki peringkat 26, Malaysia peringkat
24, dan negara miskin SDA, yaitu Singapura justru bertengger diurutan kedua.
Hal ini membuktikan bahwa kekayaan SDA tidak serta merta bisa membuat suatu
negara unggul dan memiliki daya saing dibanding negara lainnya. Hal itu sangat
tergantung sejauh mana negara mampu mendayagunakan kekayaan alam yang dimilikinya.
Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat pada tabel di bawah ini:
Dalam laporan tahunan World Economic Forum itu,
Indonesia masuk dalam kelompok negara-negara yang daya saingnya didominasi oleh
efficiency enhancers: pendidikan
tinggi dan pelatihan; efisiensi pasar barang; efisiensi pasar tenaga kerja;
perkembangan sektor pasar keuangan; kesiapan teknologi; dan besar kecilnya atau
ukuran pasar itu sendiri. Artinya Indonesia belum masuk ke level innovation driven yang ditandai oleh
adanya tingkat kepuasan dalam berbisnis dan inovasi.
Dalam
bingkai Indonesia, bicara mengenai daya saing nasional, tentu tidak bisa
dilepaskan dari daya saing masing-masing daerah. Daya saing dalam konteks
inipun masih menemui kendala karena belum dikelola dengan baik oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah (pemda). Akhirnya, alih-alih menciptakan daya
saing di masing-masing daerah, pihak pemda justru terjebak pada upaya
menciptakan sebanyak-banyaknya sektor ekonomi di daerahnya dan justru gagal
menggali potensi daerah yang unggul. Pengembangan ekonomi pun menjadi tidak
fokus. Sehingga, kita kerap menemukan suatu daerah sebagai kota jasa dan
perdagangan, begitupula daerah lainnya. Kemudian ada juga yang mencoba mengaku
daerah tambang, daerah kerajinan, dan sebaginya. Namun, masing-masing daerah
tidak memiliki diferensiasi yang selanjutnya bisa membuat daerah tersebut
benar-benar memiliki keunggulan.
Celakanya lagi, upaya membangun potensi keunggulan lokal suatu daerah tidak diimbangi dengan langkah untuk menjaga kelanggengannya (sustainability). Sehingga banyak daerah-daerah yang sebelumnya dikenal memiliki keunggulan lokal perlahan kehilangan pamornya, seperti Cibaduyut (pusat sepatu), Garut (kulit dan dodol), Klaten (pengecoran logam), serta Sidoarjo (kerajinan kulit).
Celakanya lagi, upaya membangun potensi keunggulan lokal suatu daerah tidak diimbangi dengan langkah untuk menjaga kelanggengannya (sustainability). Sehingga banyak daerah-daerah yang sebelumnya dikenal memiliki keunggulan lokal perlahan kehilangan pamornya, seperti Cibaduyut (pusat sepatu), Garut (kulit dan dodol), Klaten (pengecoran logam), serta Sidoarjo (kerajinan kulit).
Hasil
kajian dari National University of Singapore (NUS) bersama Universitas
Indonesia (2010), menunjukan daya saing antar provinsi di Indonesia masih
lemah. Dari data tersebut, nampak bahwa wilayah Timur Indonesia memiliki daya
saing yang memprihatinkan. Sedangkan daerah-daerah dengan infrastruktur bagus,
seperti Jawa menduduki peringkat 5 besar. Untuk lebih jelasnya, dapat kita
lihat tabel di bawah ini.
Apabila daya saing daerah ini kita
bedah lebih dalam, yakni pada level kota/ kabupaten, tentu permasalahan akan
semakin banyak. Karena bagaimanapun, level daya saing di tingkat propinsi tidak
lepas dari kemampuan kota/ kabupaten untuk menciptakan daya saingnya
masing-masing.
Tulisan
ini menitikberatkan pada usaha pembangunan kelembagaan dalam rangka menciptakan
inovasi daerah. Karena sebagaimana telah disinggung di atas, inovasi merupakan
salah satu cara dalam menciptakan daya saing dan untuk itu diperlukan penataan
kelembagaan guna mengembangkan inovasi di daerah-daerah. Inovasi daerah sangat
strategis dalam rangka menciptakan daya saing yang berbasis pada
potensi-potensi lokal dan kemauan untuk menerima ide atau gagasan baru yang
kreatif. Kemudian, kelembagaan yang dimaksudkan disini adalah sinergi antara
tiga elemen (Kadiman) dalam (Murniati, 2009), yaitu: Academician
(A), Businessman (B) dan Goverment (G).
Pemerintah, baik
pusat maupun daerah memegang peranan sentral dalam upaya pengembangan inovasi
daerah. Hal ini terkait dengan kewajiban dan kewenangannya dalam upaya
mensejahterakan masyarakat. Sebagai penanggung jawab upaya penciptaan inovasi
daerah dalam rangka menciptakan daya saing adalah kementerian-kementerian
seperti Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek), Kementerian Perindustrian
(Kemperin), Kementerian Pendidikan, dan Kementerian sektoral lainnya, termasuk
lembaga-lembaga pemerintah.
Dalam
hal ini, pemerintah bisa menjalankan perannya sebagai regulator dan
fasilitator. Pemerintah mesti membuat aturan main, termasuk koordinasi antara
pusat dan daerah serta yang sifatnya lintas sektoral. Adapun peran fasilitator
yakni menjembatani antara perguruan tinggi (riset yang dilakukan akademisi)
dengan swasta selaku pengguna dari hasil-hasil riset.
Sayangnya,
peran ini masih belum mampu dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Hal ini
nampak dari lemahnya koordinasi antar kementerian/lembaga negara. Sebagai
contoh, kita memiliki banyak lembaga pengembangan dan penelitian, seperti LIPI,
BPPT, Kemristek, BATAN, riset universitas, dan berbagai Balitbang di
masing-masing kementerian, termasuk di daerah. Namun, tetap saja upaya
membangun inovasi gagal, bahkan di dalam tubuh kementerian atau lembaga negara
tersebut. Salah satu kendalanya adalah ego masing-masing kementerian/ lembaga
untuk mau duduk bersama membangun
sinergi dengan visi nasional yang sama.
Meskipun
begitu, keseriusan untuk membangun inovasi ditunjukan pemerintah dengan
keluarnya Peraturan Presiden No.32 tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional
dalam rangka mewujudkan upaya mengembangkan inovasi di level nasional.
Tak
hanya itu, untuk mengembangkan inovasi di level daerah, pemerintah telah
membuat peraturan bersama Menteri Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam Negeri
No.03 tahun 2012/No.36 tahun 2012 tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah
(SIDa). Dalam peraturan tersebut juga diatur mengenai penataan kelembagaan
SIDa.
Dalam
pasal 14 Peraturan Bersama Menristek dan Mendagri No.03/2012 dan No.36/2012
disebutkan bahwa kelembagaan SIDa terdiri atas : lembaga/ organisasi, peraturan,
dan norma/etika/budaya. Lembaga yang dimaksud dalam peraturan tersebut yakni
(pasal 15 ayat 1): institusi pemerintah; pemerintahan daerah; lembaga
kelitbangan; lembaga pendidikan; lembaga penunjang inovasi; dunia usaha; dan
organisasi kemasyarakatan di daerah.
Selanjutnya,
pengembangan SIDa dilakukan oleh Menteri Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam
Negeri. Di level propinsi, tanggung jawab pengembangan SIDa diberikan kepada
Gubernur dan untuk wilayah Kabupaten/Kota adalah Bupati/ Walikota.
Namun,
lagi-lagi upaya membangun daya saing masih jauh dari harapan. Sepertinya, kita
bukan hanya butuh aturan tapi juga kepemimpinan di level nasional dan daerah
yang mampu menggerakan lembaga-lembaga yang ada.
Selanjutnya,
peran Perguruan Tinggi dengan para akademisinya adalah dalam kerangka
menghasilkan riset-riset yang mampu melahirkan inovasi dan dapat diaplikasikan
(applicable). Namun ada kendala untuk
mewujudkan hal tersebut. Riset di Perguruan Tinggi hanya sebatas pemenuhan
tugas akhir mahasiswa dan keperluan penambahan kredit para dosen. Banyak
penelitian hanya berakhir dalam bentuk prototipe sehingga belum bisa
diimplementasikan langsung oleh masyarakat (Kompas, 12/3/2014).
Peneliti harus bisa bekerjasama
dengan pengembang bisnis, agar hasil penelitiannya tidak hanya dimuat
dalam jurnal ilmiah,
tetapi bisa dimanfaatkan
oleh masyarakat, industri,
dan pihak yangb erkepentingan lainnya Sehingga riset yang dihasilkan tidak hanya
menjadi tumpukan tulisan di lemari perpustakaan.
Kedua, anggaran riset
pemerintah memang masih minim, hanya sekitar 0.08% dari PDB (World Bank, 2009).
Bandingkang dengan Malaysia yang sudah mencapai angka 1,07%, Singapura (2,43%),
dan Korea Selatan (3,56%).
Ketiga, akademisi
masa kini lebih disibukan dengan karir birokratnya dengan mengejar jabatan
elite di kampus dan di berbagai Kementerian/ Lembaga, termasuk karir politik.
Sehingga akademisi kerap lupa akan orientasi kehidupan intelektualnya.
Lebih lanjut, swasta
sejatinya bisa menjalankan peran dalam upaya mendorong dan memasarkan produk
inovasi. Bukan hanya soal sumber daya modal yang mereka miliki, tapi juga
terkait dengan kepentingan mereka dalam menjaga keberlanjutan bisnisnya.
Sayangnya, pihak
swasta kerap berpikir pragmatis. Mereka lebih sering membeli produk dan
teknologi dari negara lain ketimbang mengembangkan sendiri di dalam negeri.
Antara swasta dan akademisi juga kerap berjalan sendiri-sendiri. Sehingga apa
yang dibutuhkan oleh swasta dan diciptakan oleh Perguruan Tinggi sering tidak
sesuai.
Untuk itulah mengapa
kemudiaan penataan kelembagaan begitu penting dalam menciptakan inovasi daerah.
Bukan hanya sebatas pasal-pasal sebagaimana tertuang dalam peraturan bersama
antara Menristek dan Mendagri. Komitmen untuk pelaksanaannya sangat dibutuhkan
demi keberhasilan menciptakan inovasi. Untuk itu, Presiden selaku pimpinan
nasional dan kepala-kepala daerah harus mampu menjadi dirigen yang mampu
menciptakan harmoni pada organisasi di bawahnya.
Sumber
Referensi:
Giap, Than Khee, dkk. (2013). Competitiveness Analysis And Development Strategies For
33 Indonesian Provinces. Singapura: World Scientific Publishing
Company, Incorporated.
Murniati, Dewi Eka. (2009). Peran Perguruan Tinggi dalam Triple Helix Sebagai Upaya
Pengembangan Industri Kreatif. Materi Seminar Nasional bertajuk “Peran Pendidikan
Kejuruan dalam Pengembangan Industri Kreatif” dapat diakses di: http://eprints.uny.ac.id/5165/1/01_Dewi_Eka_Murniati.pdf
Kompas cetak, 12/3/2014
Comments