Karut-Marut Beasiswa
Belum
lama ini, Presiden SBY menghadiahi beasiswa kepada Raeni, anak tukang becak
yang menjadi lulusan terbaik di kampusnya (Kompas, 13/6/2014). Kabar ini tentu
menggembirakan bagi Raeni dan memantik asa jutaan pelajar dan mahasiswa untuk
bisa merasakan hal yang sama, yakni mendapatkan beasiswa pendidikan.
Tapi
taukah kita, termasuk presiden SBY, bahwa saat ini pengelolaan beasiswa masih
karut-marut dan justru memberatkan para penerimanya. Salah satunya adalah
beasiswa unggulan yang saat ini dikelola oleh Biro Perencanaan dan Kerja Sama
Luar Negeri (BPKLN) Kemdikbud.
Informasi
dari Kemdikbud menyebutkan bahwa persoalan ini bukanlah karena ketiadaan
anggaran, melainkan adanya gangguan dalam aplikasi Sistem Perbendaharaan dan
Anggaran Negara (SPAN) di Kemenkeu. SPAN ini sendiri merupakan proyek ambisius
pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara secara terintegrasi
untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.
Sayangnya,
proyek yang telah digagas sejak 2009 tersebut justru menemui kendala ketika
memasuki tahapan piloting dibeberapa
kementerian, termasuk Kemdikbud. Aplikasi SPAN error dan tak mampu diatasi oleh Kemenkeu. Konsultan pun sudah
terlanjur pulang ke negaranya. Akhirnya, masyarakat yang jadi korban, dimana
beasiswa tak kunjung cair dan tak ada kejelasan upaya penyelesaian yang diambil
oleh pemerintah.
Dalam
kasus ini, penulis sadar bahwa Kemdikbud tidak serta merta bisa disalahkan,
karena permasalahan ini juga melibatkan Kemenkeu. Namun, yang menjadi
pertanyaan adalah sejauh mana koordinasi yang sudah dibangun antara pihak
Kemdikbud dan Kemenkeu untuk mengatasi persoalan ini? Karena hal ini tidak
hanya menyandera hak para penerima beasiswa tapi juga membuat performa
penyerapan anggaran kementerian menjadi rendah.
Bila pada
level direktur tidak bisa mengatasi persoalan ini, masing-masing menteri dengan
bantuan menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat dan bidang perekonomian
bisa duduk bersama untuk mengatasi persoalan tersendatnya penyaluran beasiswa.
Kalau memang tak kunjung selesai, presiden bisa segera mengambil tindakan.
Namun,
melihat permasalahan yang semakin berlarut dan tidak adanya titik terang dalam
penyelesaian pencairan beasiswa tersebut, penulis menduga bahwa koordinasi
lintas kementerian sangat buruk. Presiden sebagai pimpinan tertinggi harusnya
mampu mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan nasib para
penerima program beasiswa tersebut. Jadi, jangan hanya sekedar turun tangan
dalam memberikan beasiswa, sebagaimana yang didapatkan oleh Raeni dan program
beasiswa presiden yang diluncurkan sebelum pemilu legislatif. Tapi presiden
juga harus tahu seperti apa program beasiswa yang ada di pemerintahannya.
Kasus
inipun sejatinya bukan barang baru. Pada tahun lalu, beasiswa yang dikelola
Kemdikbud juga pernah tersendat. Waktu itu masalahnya karena Kemenkeu
membintangi anggaran milik Kemdikbud. Sehingga DIPA tidak bisa dicairkan dan
beasiswa pun menjadi molor.
Kondisi
ini jelas menunjukkan buruknya manajemen pemerintahan kita, termasuk di
dalamnya manajemen pengelolaan anggaran yang berujung pada karut-marutnya beasiswa.
Kehadiran menteri koordinator yang seyogyanya bisa menjembatani penyelesaian
permasalahan lintas sektoral nyatanya belum berfungsi dengan baik. Rapat
kabinet yang kerap digelar di istana, rupanya belum mengarah pada bagaimana
upaya menyelesaikan masing-masing persoalan yang dihadapi oleh kementerian.
Padahal,
bila kita cermati, problem tersendatnya penyaluran beasiswa unggulan ini cukup
sederhana, yaitu adanya kegagalan sebuah sistem aplikasi. Namun, dampaknya
begitu besar, yakni program-program yang masuk dalam piloting SPAN menjadi sulit dilaksanakan. Sejatinya yang dibutuhkan
hanyalah konsensus dari pemerintah untuk “mensiasati” kegagalan aplikasi
tersebut agar program-program bisa segera dilaksanakan. Bila konsensus buntu,
maka presiden sebagai pimpinan tertinggi dan kapasitasnya sebagai pejabat
publik bisa langsung mengambil keputusan. Karena sebagaimana dikatakan oleh
Riant Nugroho (2014), pernyataan pejabat publik merupakan bagian dari kebijakan
publik itu sendiri. Dan bila presiden memerintahkan bawahannya untuk
menyelesaikan permasalahan beasiswa tersebut, siapa yang mau membelot?
Celakanya,
pengawasan (controlling) di republik
ini masih menjadi sesuatu yang langka. Kehadiran lembaga pengawasan baik
internal dan eksternal hanya sebatas formalitas dan berakhir menjadi macan
ompong. Controlling belum dirasa
sebagai kebutuhan untuk menjamin implementasi kebijakan berjalan dengan baik.
Pucuk pimpinan masih bersikap feodal dengan hanya menunggu laporan dari bawah.
Akhirnya banyak pemimpin disemua level, terjebak dalam laporan yang sifatnya
‘asal bapak senang’.
Beasiswa
ini hanya secuil permasalahan yang menunjukkan lemahnya koordinasi lintas
sektoral dan kurang pekanya presiden dalam menemukenali masalah serta
mencarikan solusi pemecahannya.
Semoga,
Raeni kelak tidak mengalami karut-marutnya pengelolaan beasiswa dan pemerintah
segera menyelesaikan tersendatnya pencairan beasiswa, serta menata kembali
pengelolaan beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa di masa mendatang.
Comments