Pendidikan Belum Jadi Prioritas 2013


Belakangan ini, berbagai media massa dan sejumlah diskusi ramai memperbincangkan kurikulum baru yang sedang diuji publik oleh Kemendikbud. Banyak yang sependapat dengan langkah pemerintah ihwal perubahan kurikulum yang katanya bersifat tematik tersebut. Namun tak sedikit pula yang mengatakan langkah pemerintah itu tak ubahnya menggarami air laut.
Tak hanya soal kurikulum, semenjak dahulu, berbagai hal yang terkait dengan dunia pendidikan nasional, dari mulai sekolah rusak, biaya sekolah yang mahal, sampai masalah kesejahteraan guru, kerap disoroti oleh berbagai pihak. Tapi menariknya, 67 tahun kita merdeka dan ribuan kritik sudah dialamatkan pada pemerintah (Kemendikbud), tetap saja pendidikan nasional masih jalan di tempat (stagnan).
Pendidikan memang selalu menjadi primadona dan menyita perhatian berbagai pihak, dari mulai tukang sapu yang anaknya putus sekolah karena tak punya uang, sampai wakil presiden yang rupanya juga gerah dengan kondisi pendidikan nasional yang kian merana.
Mendasarkan pada fenomena ini, seolah kita semua (termasuk pemerintah dan DPR) sudah sadar mengenai pentingnya pendidikan yang berkualitas dan bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat (accessible).
Tapi sekali lagi, hal tersebut hanyalah angin surga. Eksekutif dan Legislatif belum benar-benar serius menjadikan pendidikan sebagai ujung tombak dalam membangun negara. Fakta ini menguat tatkala revisi atas UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013.
Padahal UU Sisdiknas yang saat ini berlaku sudah tidak relevan dengan kebijakan-kebijakan Kemendikbud. Banyak ketidaksesuaian antara aturan dan kebijakan pemerintah. Misal, pasal 53 ayat 1 sampai 4 UU Sisdiknas yang mengatur tentang Badan Hukum Pendidikan masih belum dihapus. Kemendikbud mengagendakan wajib belajar 12 tahun (SD sampai SMA), tapi pada pasal 11 ayat 2 UU Sisdiknas hanya mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah mendanai pendidikan sampai SMP saja.
Selanjutnya, dalam UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (PT) disebutkan bentuk perguruan tinggi salah satunya adalah Akademi Komunitas (pasal 59 ayat 1 poin f UU PT), namun dalam UU Sisdiknas, pasal 20 ayat 1 belum mencantumkan Akademi Komunitas.
Kemudian, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-V/2007 yang mengamanatkan gaji guru masuk dalam 20% anggaran pendidikan juga belum difasilitasi oleh UU Sisdiknas. Dalam pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas masih disebutkan bahwa dana pendidkan selain gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD.
Tidak direvisinya UU Sisdiknas membuat kebijakan pendidikan nasional inkonstitusional. Bagaimana mungkin mengelola pendidikan yang demikian kompleksnya tanpa sebuah aturan yang jelas. Selain melanggar hukum, hal ini membuktikan bahwa kebijakan pendidikan kita tanpa pedoman. Maka wajar bila kebijakan yang dirumuskan mudah sekali berubah-ubah dan tak jelas arah dan sasarannya.
Padahal, revisi atas UU Sisdiknas yang menjadi dasar aturan mengenai pendidikan nasional sudah berkali-kali diwacanakan oleh anggota dewan, namun mengapa tak segera direalisasikan? Apakah kubu status quo begitu kuat, sehingga  suara perubahan selalu termarginalkan.
Apapun alasannya, dengan tulisan ini, penulis kembali ingin mengingatkan dan menyadarkan segenap stakeholders pendidikan tentang pentingnya memajukan pendidikan nasional. Karena pendidikan adalah penentu bagi negeri berpenduduk 250 juta ini untuk bisa sejajar dengan negara-negara maju. Seperti yang digelorakan oleh tokoh pendidikan Jepang, Fukuzawa Yukichi (1872) bahwa jalan terbaik untuk mencapai tujuan negara adalah dengan pendidikan.
Jelaslah mengapa sampai sekarang, Indonesia belum mampu mewujudkan tujuan dibentuknya negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam alinea IV UUD 1945, yakni: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan bernegara ini jauh panggang dari api lantaran fokus pada pendidikan masih kurang. Kesadaran untuk menjadikan pendidikan sebagai alat perjuangan dalam meniti jembatan emas kemerdekaan juga sangat minim.
Ironisme dalam dunia pendidikan makin menjadi lantaran anggaran pendidikan yang dipatok minimal 20% tidak berimplikasi positif pada kemajuan pendidikan nasional. Pendidikan hanya menjadi buah bibir, dan masalahnya tak kunjung selesai. 

(Koran Tangselpos, 24 Desember 2012)

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial