Mengkritisi Gerakan Guru



Minggu lalu (25 Nopember 2012) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merayakan hari jadinya yang ke 67. Namun, kiprah organisasi guru tersebut rupanya masih belum memuaskan bagi sebagian besar guru di republik ini. Terbukti dengan menjamurnya organisasi profesi guru saat ini, baik yang sifatnya lokal maupun nasional.
Tumbuh suburnya organisasi guru selain PGRI juga didukung oleh UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang memberi ruang bagi para guru untuk membentuk organisasi profesi guru. Bahkan, dalam pasal 41 ayat (3) UU No.14 tahun 2005 tersebut, guru diwajibkan untuk menjadi anggota dari organisasi profesi.
Perlu diketahui, bahwa semasa Orde Lama dan Orde baru, PGRI merupakan satu-satunya organisasi guru yang diakui oleh pemerintah. Monopoli organisasi dalam jangka waktu yang cukup lama, menjadikan organisasi ini kuat secara finansial maupun organisasional. PGRI sebagai wadah profesi guru sebenarnya bukan tanpa prestasi. PGRI terus berkembang dengan menyelenggarakan berbagai aktivitas, dari mulai pelatihan sampai pendirian sekolah dan universitas.
Namun, disisi lain, tumbuh kembangnya PGRI sebagai sebuah organisasi, berbanding terbalik dengan kondisi pendidikan nasional, terutama menyangkut kesejahteraan guru. PGRI bahkan terjebak ke dalam politik praktis semasa rezim Orde Baru dengan menjadi perpanjang tanganan Partai Golkar. Sampai sekarang, organisasi profesi guru tertua itu masih dijadikan kendaraan politik untuk mengincar posisi strategis, dari mulai kepala sekolah, kepala dinas, sampai jabatan politik. Sebut saja anggota DPD dari Jawa Tengah, Prof.Dr. Sulistyo yang tak lain adalah Ketua Umum PGRI. Sebelumnya, Prof. Dr. Mohamad Surya, juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PGRI sekaligus anggota DPD periode 2004-2009.
            Fenomena ini tentu membuat sebagian besar guru yang kritis menjadi pesimis terhadap PGRI. Padahal, cita-cita awal pendirian PGRI sebagaimana diputuskan dalam kongres guru di Surakarta, 67 tahun silam, salah satunya adalah mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran dengan dasar-dasar kerakyatan. Namun, cita-cita ini semakin menjauh dengan terkooptasinya PGRI oleh kepentingan sebagian elitenya. Bila kemudian organisasi profesi guru yang baru lahir dianggap sebagai antitesis PGRI, maka kemanakah perjuangan organisasi guru yang masih miskin jaringan dan finansial ini akan diarahkan?
            Sebagai dasar yang utama bagi organisasi guru adalah independensi. Independen bukan berarti organisasi guru tidak mau bekerjasama atau berhubungan dengan pemerintah. Namun lebih kepada equality. Organisasi guru tidak boleh hanya sekedar menjadi juru dengar dan tak punya nyali untuk ‘tidak setuju’ dengan kebijakan pemerintah. Mereka adalah stakeholder pendidikan yang juga berfungsi sebagai jembatan antara kebijakan pemerintah (Kemendikbud) dengan murid. Tangan dingin gurulah yang akan menentukan apakah cita-cita pencerdasan bangsa bisa tercapai.
            Lantas, apakah independen berarti anti terhadap partai politik? Tentu tidak. Pendidikan sendiri adalah produk politik. Hanya saja, fungsi organisasi guru sebagai organisasi profesi berbeda dengan partai politik yang notabenenya merupakan instrumen demokrasi untuk mendapatkan kekuasaan. Organisasi guru adalah organisasi dari guru untuk dunia pendidikan. Organisasi guru bukanlah alat untuk berkuasa melainkan wadah untuk berhadapan dengan para penguasa. Jadi hubungan dengan partai politik bukanlah sebagai underbow melainkan partnership. Perkara orientasi politik adalah seratus persen milik individu dalam organisasi.
            Kedua, organisasi guru adalah gerakan intelektual dan moral. Hal ini didasarkan pada kapasistas guru sebagai insan pendidik dan bentuk organisasinya yang merupakan organisasi profesi. Oleh karena itu, organisasi guru menjadi berbeda dengan organisasi lainnya, semisal buruh yang mengedepankan gerakan massa. Besarnya jumlah massa buruh menjadi salah satu kekuatan utama saat menjalankan aksinya, yakni demonstrasi dan mogok.
            Sebagai sebuah gerakan intelektual, organisasi guru seyogyanya lebih menekankan pada aspek keilmuan yang mencerahkan dan mendidik. Kekuatan utamanya adalah pada tataran konsep dan pemikiran yang selanjutnya memberikan pemahaman baik itu bagi masyarakat maupun para pemangku kebijakan. Organisasi guru juga harus memberikan added value bagi anggotanya.
            Selanjutnya, gerakan moral yang bersumber dari hati nurani erat kaitannya dengan tugas mulia guru dalam mendidik generasi bangsa yang dulu semasa Orde Baru kental dengan doktrin ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Namun saat ini, profesi guru sebagai pekerjaan yang mulia yang membutuhkan ketulusan patut dikaji kembali. Pasalnya, profesi guru saat ini dianggap cara untuk menjadi kaya.
 Mengacu pada ciri intelektual dan moral guru, maka model perjuangan yang selama ini dilakukan dengan pengerahan massa dan aksi mogok, sepertinya menjadi kurang tepat. Karena aksi tersebut tentu akan mengorbankan peserta didik. Bahkan, dua model perjuangan tersebut, bukan hanya mengkerdilkan posisi guru sebagai seorang cendikiawan, tetapi juga menjadi sulit untuk membedakan antara gerakan buruh dengan gerakan guru. Bukankah guru tidak mau disamakan dengan buruh?
            Ketiga adalah sinergi antar organisasi profesi guru. Banyaknya organisasi profesi guru yang kini bermunculan harus bersatu dan bukan malah memecah-belah guru. Masalah pendidikan yang demikian kompleks tentu bisa dipecahkan bersama dengan saling berbagi peran. Semakin banyak pendidik yang peduli dengan problematika pendidikan maka harapan akan majunya pendidikan nasional semakin mendekati kenyataan. Namun, bila perilaku saling menjatuhkan antar organisasi yang lebih dominan, seperti yang kerap terjadi belakangan ini, maka mustahil perjuangan guru untuk kesejahteraan dan kemajuan pendidikan bisa dimenangkan. Guru hanya akan diperalat dan terus menerus terjebak dalam pusaran elite yang haus akan sahwat kekuasaan.


(Koran Tangselpos, 4 Januari 2013)

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial