Mematahkan Pewarisan Kekerasan



Dunia pendidikan kembali berduka, tawuran pelajar antara siswa SMAN 6 dan SMAN 70 Senin lalu (24/09/12) mengakibatkan seorang siswa didik meninggal dan tiga lainnya luka-luka. Dua hari berselang, dua orang siswa kembali tewas saat tawuran di Manggarai dan kawasan Halim. Kondisi yang ironis, disaat pemerintah tengah gencar meningkatkan mutu pendidikan, masalah kekerasan yang selama ini menjadi potret kelam pendidikan nasional seakan masih belum mendapatkan perhatian khusus dari para pemangku kepentingan (stakeholders).
Sekolah seharusnya nyaman dan menyenangkan, karena hanya dalam lingkungan seperti itulah proses belajar-mengajar bisa berjalan dengan baik. Bahkan, untuk memunculkan kesan menyenangkan tersebut, Ki Hajar Dewantara menggunakan istilah Taman Siswa saat merintis sekolah bagi penduduk pribumi di tahun 1922. Namun sekarang, rupanya api semangat untuk mewujudkan pendidikan yang nyaman dan menyenangkan sudah padam. Sekolah, yang seyogyanya menjadi salah satu agen pencerdasan bangsa kini menjelma menjadi agen kekerasan.
Guru tak lagi bisa dijadikan panutan (ing ngarso sung tulodo), mereka justru menjadi aktor utama bagi lahirnya kekerasan di sekolah. Konsep punishment yang sejatinya harus bersifat mendidik diartikan dengan kekerasan fisik. Hal ini dibuktikan dengan makin banyaknya pengaduan wali murid yang anaknya mendapatkan perlakuan kasar dari sang guru, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Akhirnya, guru pun tidak lagi layak untuk digugu dan ditiru.
Selanjutnya, praktik kekerasan antar siswa yang sering disebut bullying (perundungan) juga kerap terjadi di dalam lingkungan sekolah. Tak jarang, perundungan juga kerap memakan korban jiwa. Kekerasan yang mengedepankan senioritas ini terus diwariskan oleh senior kepada junior secara turun-temurun dan menjadi “lingkaran setan”. Celakanya, peranan guru di sekolah untuk meredam, baik itu dengan mengawasi ataupun pemberian sanksi masih sangat minim. Pihak sekolah seakan tutup mata, bahkan membela diri, mungkin untuk menjaga kredibilitas sekolah. Alhasil, praktik kekerasan di sekolah ini pun makin tumbuh subur.
Selain praktik kekerasan seperti di atas, tanpa kita sadari dalam sistem pendidikan nasional juga sarat dengan kekerasan yang lebih kepada simbol-simbol (symbolic violence). Menurut Pierre Bourdieu (1995), symbolic violence terkait dengan kuasa untuk menentukan instrumen pengetahuan dan sebuah ekspresi yang sifatnya dipaksakan, namun tak disadari. Pemaksaan ini bisa dilakukan dengan menggunakan media komunikasi, seperti bahasa.
Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan nasional, aktor dari symbolic violence adalah pemerintah, yakni Kemendikbud dan organisasi di bawahnya hingga tingkat sekolah. Bentuknya antara lain berupa kebijakan-kebijakan terhadap peserta didik. Salah satu contoh dari symbolic violence adalah penerapan Ujian Nasional (UN) di sekolah.
Maraknya praktik kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan kita, memang sudah akut. Negara selaku pengemban tugas pencerdasan bangsa selalu menjadi bulan-bulanan. Kemendikbud dianggap gagal mengelola sekolah, dan pihak sekolah dituding gagal dalam mendidik para siswa. Dalam upaya memecahkan persoalan kekerasan di dunia pendidikan, penulis menawarkan dua formula.
Pertama, pembaharuan kurikulum memang diperlukan. Kurikulum yang selama ini berlaku terlihat lebih menonjolkan pada kemampuan kognitif peserta didik, sedangkan aspek afektif (pembangunan karakter) dari para siswa hanya sekedar menjadi pelengkap saja. Paradigma inilah yang seharusnya diubah karena memang pada prinsipnya bertentangan dengan UU No.20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional. Pada pasal 3 disebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
Jadi jelas, bahwa dalam mengelola pendidikan nasional, tak hanya berpedoman pada upaya pencerdasan saja, tapi watak atau karakter bangsa juga menjadi poin utama. Pendidikan Pancasila yang kini kembali diadakan juga masih setengah-setengah dalam pelaksanannya. Hal ini terlihat dari tidak semua sekolah menjalankan Pendidikan Pancasila dan belum adanya payung hukum berupa Peraturan Menteri yang mendudukkan Pancasila sebagai mata pelajaran dalam kurikulum di sekolahan.
Bila pendidikan hanya difokuskan pada peningkatan kemampuan kognitif saja tanpa didukung pembangunan watak, maka bangsa ini hanya akan melahirkan orang pintar yang miskin toleransi, atau preman intelektual. Hal ini ditandai dengan praktik kekerasan yang dilakukan oleh kalangan terpelajar, semisal tawuran antar sekolah maupun antar fakultas. Minimnya pembangunan watak kaum terpelajar juga mewujud dalam bentuk kekersan seksual yang kerap dilakukan oleh guru terhadap peserta didiknya.
Selanjutnya, kurikulum juga perlu memuat agenda rekonsiliasi untuk memutus rantai pewarisan kekerasan antar generasi. Hal ini bisa dikonkretkan dalam wujud pendidikan karakter ataupun pancasila, semisal dengan mengadakan program Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang sifatnya turun ke masyarakat dengan melibatkan siswa lintas sekolah yang saling bermusuhan. Pertukaran pelajar (sifatnya sementara) juga bisa dilakukan terhadap siswa yang dianggap “nakal” dari dua sekolah yang saling bermusuhan. Semua ini tentunya diikuti dengan penerapan reward and punishment yang tegas dari pihak sekolah, tentunya yang sifatnya mendidik, seperti hukuman untuk “tinggal kelas” bagi mereka yang kerap melanggar aturan.
Formula kedua, yakni dengan melibatkan keluarga. Naif rasanya kalau tanggung jawab terhadap anak hanya dibebankan pada pihak sekolah, mengingat waktu anak-anak berada di luar lingkungan sekolah lebih banyak daripada di dalam sekolah. Perhatian dari orang tua menyangkut perkembangan anak perlu mendapat perhatian serius dari orang tua. Karena pembangunan karakter di rumah (melibatkan keluarga) jauh lebih efektif ketimbang di sekolah yang hanya beberapa jam saja.
Bila poin-poin ini dijalankan dengan baik, maka sangat mungkin mimpi untuk membangun bangsa yang cerdas dan beradab bisa terwujud.


*Dimuat pada Koran Harian Pelita, Edisi 1 Oktober 2012

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial