Mematahkan Pewarisan Kekerasan
Dunia pendidikan kembali berduka, tawuran pelajar antara
siswa SMAN 6 dan SMAN 70 Senin lalu (24/09/12) mengakibatkan seorang siswa
didik meninggal dan tiga lainnya luka-luka. Dua hari berselang, dua orang siswa
kembali tewas saat tawuran di Manggarai dan kawasan Halim. Kondisi yang ironis,
disaat pemerintah tengah gencar meningkatkan mutu pendidikan, masalah kekerasan
yang selama ini menjadi potret kelam pendidikan nasional seakan masih belum
mendapatkan perhatian khusus dari para pemangku kepentingan (stakeholders).
Guru tak lagi bisa dijadikan panutan (ing ngarso sung tulodo), mereka justru
menjadi aktor utama bagi lahirnya kekerasan di sekolah. Konsep punishment yang sejatinya harus bersifat
mendidik diartikan dengan kekerasan fisik. Hal ini dibuktikan dengan makin
banyaknya pengaduan wali murid yang anaknya mendapatkan perlakuan kasar dari
sang guru, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Akhirnya, guru
pun tidak lagi layak untuk digugu dan ditiru.
Selanjutnya, praktik kekerasan antar siswa yang sering
disebut bullying (perundungan) juga
kerap terjadi di dalam lingkungan sekolah. Tak jarang, perundungan juga kerap
memakan korban jiwa. Kekerasan yang mengedepankan senioritas ini terus
diwariskan oleh senior kepada junior secara turun-temurun dan menjadi
“lingkaran setan”. Celakanya, peranan guru di sekolah untuk meredam, baik itu
dengan mengawasi ataupun pemberian sanksi masih sangat minim. Pihak sekolah
seakan tutup mata, bahkan membela diri, mungkin untuk menjaga kredibilitas
sekolah. Alhasil, praktik kekerasan di sekolah ini pun makin tumbuh subur.
Selain praktik kekerasan seperti di atas, tanpa kita
sadari dalam sistem pendidikan nasional juga sarat dengan kekerasan yang lebih
kepada simbol-simbol (symbolic violence).
Menurut Pierre Bourdieu (1995), symbolic
violence terkait dengan kuasa untuk menentukan instrumen pengetahuan dan
sebuah ekspresi yang sifatnya dipaksakan, namun tak disadari. Pemaksaan ini
bisa dilakukan dengan menggunakan media komunikasi, seperti bahasa.
Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan nasional, aktor
dari symbolic violence adalah
pemerintah, yakni Kemendikbud dan organisasi di bawahnya hingga tingkat
sekolah. Bentuknya antara lain berupa kebijakan-kebijakan terhadap peserta
didik. Salah satu contoh dari symbolic
violence adalah penerapan Ujian Nasional (UN) di sekolah.
Maraknya praktik kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan
kita, memang sudah akut. Negara selaku pengemban tugas pencerdasan bangsa
selalu menjadi bulan-bulanan. Kemendikbud dianggap gagal mengelola sekolah, dan
pihak sekolah dituding gagal dalam mendidik para siswa. Dalam upaya memecahkan
persoalan kekerasan di dunia pendidikan, penulis menawarkan dua formula.
Pertama,
pembaharuan kurikulum memang diperlukan. Kurikulum yang selama ini berlaku
terlihat lebih menonjolkan pada kemampuan kognitif peserta didik, sedangkan
aspek afektif (pembangunan karakter) dari para siswa hanya sekedar menjadi
pelengkap saja. Paradigma inilah yang seharusnya diubah karena memang pada
prinsipnya bertentangan dengan UU No.20/2003 tentang Sistem pendidikan
Nasional. Pada pasal 3 disebutkan bahwa “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”
Jadi jelas, bahwa dalam mengelola pendidikan nasional,
tak hanya berpedoman pada upaya pencerdasan saja, tapi watak atau karakter
bangsa juga menjadi poin utama. Pendidikan Pancasila yang kini kembali diadakan
juga masih setengah-setengah dalam pelaksanannya. Hal ini terlihat dari tidak
semua sekolah menjalankan Pendidikan Pancasila dan belum adanya payung hukum
berupa Peraturan Menteri yang mendudukkan Pancasila sebagai mata pelajaran
dalam kurikulum di sekolahan.
Bila pendidikan hanya difokuskan pada peningkatan
kemampuan kognitif saja tanpa didukung pembangunan watak, maka bangsa ini hanya
akan melahirkan orang pintar yang miskin toleransi, atau preman intelektual. Hal ini ditandai dengan praktik kekerasan yang
dilakukan oleh kalangan terpelajar, semisal tawuran antar sekolah maupun antar
fakultas. Minimnya pembangunan watak kaum terpelajar juga mewujud dalam bentuk
kekersan seksual yang kerap dilakukan oleh guru terhadap peserta didiknya.
Selanjutnya, kurikulum juga perlu memuat agenda
rekonsiliasi untuk memutus rantai pewarisan kekerasan antar generasi. Hal ini
bisa dikonkretkan dalam wujud pendidikan karakter ataupun pancasila, semisal
dengan mengadakan program Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang sifatnya turun ke
masyarakat dengan melibatkan siswa lintas sekolah yang saling bermusuhan.
Pertukaran pelajar (sifatnya sementara) juga bisa dilakukan terhadap siswa yang
dianggap “nakal” dari dua sekolah yang saling bermusuhan. Semua ini tentunya diikuti
dengan penerapan reward and punishment
yang tegas dari pihak sekolah, tentunya yang sifatnya mendidik, seperti hukuman
untuk “tinggal kelas” bagi mereka yang kerap melanggar aturan.
Formula kedua,
yakni dengan melibatkan keluarga. Naif rasanya kalau tanggung jawab terhadap
anak hanya dibebankan pada pihak sekolah, mengingat waktu anak-anak berada di
luar lingkungan sekolah lebih banyak daripada di dalam sekolah. Perhatian dari
orang tua menyangkut perkembangan anak perlu mendapat perhatian serius dari
orang tua. Karena pembangunan karakter di rumah (melibatkan keluarga) jauh
lebih efektif ketimbang di sekolah yang hanya beberapa jam saja.
Bila poin-poin ini dijalankan dengan baik, maka sangat
mungkin mimpi untuk membangun bangsa yang cerdas dan beradab bisa terwujud.
*Dimuat pada Koran Harian Pelita, Edisi 1 Oktober 2012
Comments