Jokowi, Si Angin Segar untuk Moncong Putih
Duet “Banteng” dan “Garuda” akhirnya berhasil mengantarkan pasangan Jokowi-Ahok menduduki kursi DKI-1. Pasangan nusantara yang pada saat kampanye dihantam dengan terpaan isu SARA ini ditasbihkan sebagai pemenang dalam hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei. Meski selisihnya tipis, yaitu sekitar 57% untuk Jokowi-Ahok dan 47% untuk Foke-Nara. Namun, belajar dari hasil quick count putaran pertama lalu, angka tersebut tidak akan berbeda jauh.
Kemenangan Jokowi-Ahok sejatinya simbol kemenangan warga
Jakarta yang merindukan perubahan. Masyarakat Jakarta yang didominasi kelas
menengah cenderung memiliki pilihan yang realistis. Janji manis, politik uang (money politic), serta koalisi antar
partai yang cenderung pragmatis tak mampu membendung figur Jokowi-Ahok yang
dinilai sukses memimpin daerahnya masing-masing.
Kemenangan Jokowi tentunya bisa dijadikan pelajaran bagi
partai politik di Indonesia, terutama PDI Perjuangan (PDIP). Mengapa penulis
menekankan khusus pada PDIP dan bukan partai lain. Hal ini didasari oleh cerita
panjang dinamika internal PDIP saat hendak memutuskan calon yang akan diusung
dalam Pilgub DKI 2012. Setelah bersitegang antara faksi oportunis dengan faksi
idealis, akhirnya PDIP memilih untuk tetap idealis.
Jokowi yang merupakan kader partai ‘Moncong Putih’
tersebut memang disebut-sebut namanya oleh sebagian kader DPP PDIP, termasuk
ketua umum Megawati Soekarnoputri. Namun karena Jokowi pulalah, muncul faksi
dalam tubuh partai wong cilik itu.
Sang God Father, Taufik Kiemas, bahkan
lebih condong ke Fauzi Bowo. Mega pun akhirnya diliputi keraguan, maklum saja,
PDIP hanya mendapat 11,70% kursi di DPRD, padahal syarat untuk bisa mengajukan
pasangan calon adalah 15% dari total kursi yang ada. Selain kendala
persyaratan, masalah pendanaan juga merundung benak Megawati.
Semua keraguan Mega akhirnya sirna, tatkala Prabowo,
dedengkot partai Gerindra menawarkan koalisi dan meyakinkan Megawati. Angin
segar tentunya buat PDIP, Mega pun percaya diri dan langsung merestui Jokowi
untuk dijagokan di Jakarta berpasangan dengan Ahok.
Pelajaran untuk Parpol
Kemenangan Jokowi-Ahok seharusnya bisa menjadi pelajaran
penting bagi PDIP dan partai lainnya. Sukses tersebut bukanlah karena faktor
mesin partai semata, tapi figur Jokowi lebih utama. Apalagi kalau Megawati
berpikiran hendak menggandeng Jokowi sebagai Cawapres di Pilpres 2014
mendatang, ini merupakan sebuah blunder besar.
Pesan dari kemenangan Jokowi adalah bahwa kader karbitan,
korup, dan opportunis sudah tidak lagi mendapat ruang di masyarakat. Rakyat
(pemilih) lebih menyukai calon-calon pemimpin yang mampu bekerja untuk rakyat.
Elektabilitas partai selama ini selalu berbanding terbalik dengan figur yang
diusung oleh partai. Pemilih tidak lagi melihat partai, melainkan sosok yang
dicalonkan. Terbukti koalisi partai besar yang mengusung Foke-Nara (81,91%),
hanya berhasil mempersembahkan 47% suara untuk pasangan incumbent. Bahkan, saat putaran pertama, pasangan Faisal-Biem yang
berangkat dari jalur independen justru mengungguli perolehan suara Alex-Nono
yang diusung Golkar dan PPP.
Saatnya berbenah
Menjelang Pilpres 2014 ini, partai politik mesti berbenah
diri jika tidak ingin ditinggalkan oleh pemilihnya. Partai sebagai mesin
politik, harus melakukan kaderisasi secara serius dari mulai ranting hingga
pusat, termasuk penguatan ideologi. Ideologi perlu dikuatkan lantaran selama
ini hanya sebatas ornamen di dalam AD/ART saja. Aplikasi ideologi dari partai
politik masih sangat minim.
Selain melakukan kaderisasi dan penguatan ideologi,
partai politik juga dituntut untuk konsisten, tidak pragmatis. Sikap mencla-mencle partai-partai besar
(Golkar, PKS, PPP) yang sebelumnya menginginkan perubahan namun akhirnya
mendukung incumbent pada Pilkada DKI
kemarin membuat rakyat muak. Rakyat sudah semakin cerdas dan akan memberikan
sanksi politik pada partai-partai yang kerap “melacurkan” diri.
PDIP, yang notabenenya berhasil mendudukkan kadernya di
DKI-1 kini tengah di atas angin. Meskipun begitu, patut dipertanyakan, apakah
memang PDIP yang saat ini konsisten berada di luar pemerintahan (oposisi) dan
mengaku berpihak kepada rakyat kecil (marhaen),
sudah benar-benar menjauhi politik transaksional yang selama ini kerap dipraktekkan
oleh partai-partai politik.
PDIP sebagai rumah besar kaum nasionalis seyogyanya
kembali pada garis perjuangan terhadap wong
cilik. Sukses memaksimalkan mesin partai dalam pemenangan Jokowi, merupakan
momentum untuk berbenah diri. Soliditas kader partai dan keberanian untuk
mengusung kader internal harus terus dijaga. Dan ujian selanjutnya adalah pada
Pilkada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur pada 2013 mendatang. Akankah
partai-partai politik, termasuk PDIP akan memberi ruang pada kader terbaik dan
bergotong-royong memenangkan kandidatnya tersebut. Semoga kemenangan
Jokowi-Ahok menajdi pertimbangan partai-partai politik.
Comments