Berantas Pengangguran Terdidik

Di penghujung September lalu, Harian Kompas mewartakan kabar mengenai tingginya jumlah pengangguran terdidik di Indonesia. Tercatat lebih dari 600.000 lulusan perguruan tinggi di Indonesia menganggur (Kompas, 29/9/14). Celakanya, mayoritas kaum terdidik yang menganggur tersebut merupakan lulusan sarjana, yaitu sebanyak 420.000 orang, sedangkan sisanya adalah lulusan diploma.

Jika tidak disikapi dengan serius, kondisi ini dikuatirkan akan terus memburuk saat memasuki ASEAN Economic Community pada tahun depan. Pasalnya, para pencari kerja tidak hanya bersaing dengan pelamar dari dalam negeri, tapi juga dari negara-negara ASEAN lainnya.  Lulusan dari kampus-kampus lokal dipaksa berduel dengan lulusan dari negara-negara lain, yang standarnya lebih tinggi. Bisa jadi, beberapa tahun ke depan, jabatan-jabatan strategis di perusahaan-perusahaan multinasional, perusahaan lokal yang bonafide, bahkan office boy menjadi milik warga negara asing.
           
Meskipun begitu, ancaman tersebut bukan berarti tak bisa dibendung ataupun dilawan. Ada beberapa masalah yang bisa kita inventarisir terkait dengan permasalahan pengangguran terdidik ini. Pertama adalah permasalahan standarisasi. Hal ini bahkan sudah menjadi kesepakatan negara-negara ASEAN untuk menyetarakan kualitas laju barang dan jasa antar negara ASEAN dan salah satunya adalah membuat standarisasi.
           
Dalam dunia pendidikan, upaya untuk menciptakan standarisasi, antara lain dengan program akreditasi. Sayangnya, program ini belum berjalan maksimal. Anggaran yang terbatas selalu menjadi kambing hitam dari belum maksimalnya proses akreditasi. Padahal UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah memberi ruang untuk hadirnya lembaga akreditasi mandiri. Oleh karenanya, pemerintah baru nanti harus mampu memperbaiki pelaksanaan akreditasi yang hingga saat ini masih karut-marut.
           
Kedua, kurikulum pendidikan nasional kerap dipersalahkan karena hanya mengajarkan teori tapi minim praktek dan tidak aplikatif. Ujungnya, sistem pendidikan kita dituding tidak memiliki link and match dengan dunia kerja.
           
Mengenai konsep link and match ini sendiri sejatinya masih penuh perdebatan. Haruskah pendidikan sebagai wadah untuk melakukan transfer nilai-nilai dan pengetahuan dikerdilkan menjadi ajang untuk mencetak para tukang-tukang yang dibutuhkan oleh pengusaha.
Hadirnya UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi telah memberikan jalan tengah atas dua pandangan yang berseberangan dalam menyikapi hubungan antara pendidikan dengan keilmuan dan dunia kerja. Setelah sebelumnya telah ada politeknik dan akademi yang memiliki connecting dengan dunia kerja, di dalam UU tentang Pendidikan Tinggi juga terdapat Akademi Komunitas (AK) yang berbasis pada keunggulan lokal suatu daerah. Sehingga, calon mahasiswa bisa memilih apakah akan membangun basis keilmuan melalui universitas ataukah akan memilih model pendidikan yang mengutamakan kebutuhan pasar tenaga kerja.
           
Permasalahannya, AK baru seumur jagung, sedangkan tantangan sudah di depan mata. Selama dua tahun terakhir, Kemdikbud sudah mengeluarkan izin 62 Akademi Komunitas Negeri di seluruh Indonesia dan permohonan izin pendirian AK dari pihak swasta sudah lebih dari 1000 lembaga.
           
Terkait dengan upaya pengembangan AK ini cukup baik, namun pemerintah perlu menjaga kualitasnya. Sebab, akreditasi perguruan tinggi lainnya saja masih bermasalah hingga kini. Ke depan, pemerintah harus mampu menjawab tantangan ini, yakni menjadikan AK sebagai lumbung penghasil tenaga terampil dan berkualitas.
           
Selanjutnya, permasalahan ketiga yang menyebabkan angka pengangguran terdidik tinggi yaitu akibat mindset masyarakat kita. Masyarakat pada umumnya berpandangan bahwa kuliah merupakan jalan terbaik untuk mendapatkan pekerjaan, baik PNS maupun di perusahaan swasta. Fenomena ini tergambar dari hasil penelusuran alumni (tracer study) Universitas Indonesia (UI) tahun 2013. Dari data yang terkumpul, diketahui bahwa lebih dari 70% lulusan UI bekerja di perusahaan swasta, sekitar 20% menjadi PNS, dan hanya 4% yang berwirausaha (Kompas, 3/10/14).
           
Bila "mental abdi" masih mendominasi alam pikiran masyarakat, maka tingginya angka pengangguran terdidik akan sulit ditekan. Guna mengatasi hal ini, upaya untuk membangun wirausahawan-wirausahawan muda harus terus digalakkan. Tapi jangan hanya sekedar pada seminar semata. Tapi harus dengan pelatihan yang konkret.
           
Selain itu, pendidikan kewirausahaan di sekolah perlu disempurnakan, misal dengan mendatangkan wirausahawan sukses sebagai guru tamu. Selain pengajaran mengenai kewirausahaan, hal yang juga krusial adalah mengenai pemberian bantuan dana. Tanpa stimulus dana dari pemerintah, baik melalui bantuan dana langsung ataupun dengan kebijakan pemberian kredit khusus bagi calon wirausahawan. Maka, berbagai pelatihan dan seminar akan percuma.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial