Tangerang Selatan dan Masalahnya
Tahun 2020 kita
kembali memasuki tahun politik, khususnya bagi 270 daerah yang akan
melaksanakan Pilkada serentak. Jumlah tersebut terbagi menjadi 9 Pilkada
Propinsi, 224 Pilkada Kabupaten, dan 37 Pilkada Kota.
Kota Tangerang
Selatan (Tangsel) merupakan salah satu dari 37 kota yang akan menggelar Pilkada
serentak 2020. Sebagian kandidat, meskipun malu-malu tapi sudah mulai
menampakkan diri melalui spanduk-spanduk di tiap sudut Tangsel. Sebagian lainnya
menjadi pergunjingan di media massa dan grup WA smartphone kita.
Saya belum akan
menulis mengenai siapa saja kandidatnya, akan ada berapa pasang calon, siapa
yang terkuat dan bagaimana komposisi koalisi partai politik. Saya akan
memulainya dari permasalahan Tangsel itu sendiri. Apa sebenarnya masalah yang
tengah dihadapi Tangsel saat ini?
Kalau kita
perhatikan sepertinya tidak ada permasalahan yang signifikan di Tangsel. Kualitas
hidup masyarakat urban yang ada di Selatan Jakarta ini terbilang sangat baik
bila dilihat dari statistik. Ukuran yang bisa kita pakai adalah Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Tangsel yang mencapai angka 81,17 (BPS, 2018). Angka ini lebih
tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang hanya 71,39.
Berarti, warga
Tangsel itu isi dompetnya aman, terdidik, dan kesehatannya terjamin. Ketiga hal
inilah yang merupakan dimensi dasar dalam pengukuran IPM. Apakah ini kemudian
wujud sukses dari Pemkot Tangsel? Nanti dulu.
Terkait dengan
isi dompet warga Tangsel, Pemkot sebenarnya tidak terlalu dipusingkan karena
hampir 50% warga Tangsel bekerja di Jakarta (Kompas, 27/8/2019). Sisanya
terbantu dengan gencarnya sektor properti menginvasi Tangsel dan mulai
pindahnya perkantoran ke wilayah BSD dan sekitarnya.
Dari segi
sekolah, permasalahan ada pada Pemkot bukan pada masyarakat. Misalnya, banyak
bangunan SD yang tidak layak baik dari aspek bangunannya maupun sarprasnya.
Kemudian di jenjang SMP juga masih kekurangan sekolah negeri, termasuk
sebarannya yang tidak merata di 7 Kecamatan yang ada di Tangsel
(Tangerangekspress, 26/2/2019). Padahal dengan ditariknya SMA/SMK ke Propinsi,
daerah bisa lebih fokus mengurusi jenjang pendidikan di bawahnya, tapi
praktiknya masih jauh dari harapan.
Dalam pengelolaan
kesehatan, Warga Tangsel sangat terbantu dengan digenjotnya Universal Health Coverage
(UHC). Tangsel juga menjadi kota pertama yang yang mendapatkan predikat UHC lebih
dari 95% jumlah penduduknya (Tribunnews, 14/12/2018). Meskipun begitu,
pengelolaan rumah sakit di Tangsel masih buruk. Buktinya, RSUD Tangsel turun
kelas dari tipe C menjadi D (Sindonews, 24/7/2019). Akses kesehatannya mudah
tapi kalau pelayanannya tidak bagus tentu sangat membahayakan warganya.
Lantas apa yang
dianggap bermasalah di Tangsel? Permasalahan utama Tangsel sebenarnya hanya
satu, kota ini tidak sejalan dengan motto yang dimiliki: Cerdas, modern, dan religius. Coba kita kupas sedikit saja.
Kota ini tidak
cerdas karena tertinggal dengan swasta/ pengembang dalam menata wilayah. Coba
kita perhatikan dengan seksama di Tangsel, daerah yang dibangun pengembang (Serpong
dan Bintaro) pasti lebih rapi dan menarik dibandingkan dengan yang dibangun
oleh Pemkot (Pamulang dan Ciputat). Bukan hanya soal tata letaknya saja, tapi
infrastruktur dan sarana prasarana penunjangnya juga jauh lebih baik.
Seorang Cawalkot
Tangsel pada tahun 2015 lalu bahkan mengatakan 80% Tangsel dibangun oleh
pengembang (Kompas, 25/8/2015). Jika ini benar, berarti Tangsel hanya membangun
20%-nya saja, tetapi itupun tidak bisa maksimal. Padahal, APBD Tangsel hampir
mencapai Rp.4 triliun. Berarti, Pemkot Tangsel diam saja, maka pembangunan akan
berjalan dengan baik, karena swastalah yang melakukannya.
Tapi dampaknya
akan ada gap yang sangat lebar antara
masyarakat menengah bawah dengan masyarakat atas. Inipun mulai dirasakan saat
ini, dimana harga properti di Tangsel sangat tinggi, fasilitas kesehatan yang
bagus sulit terjangkau, dan pendidikan yang berkualitas bertebaran di Tangsel
namun sulit diakses masyarakat kalangan bawah.
Bagaimana kota
ini disebut cerdas, bila dalam membangun jalan selalu tidak memperhatikan
drainase. Sehingga, jalanan kerap tergenang oleh air hujan yang menyebabkan
umurnya sangat singkat. Mungkin memang ini yang diharapkan supaya proyek rutin
perbaikan bisa jalan terus.
Tangsel juga
belum berhasil menjadi kota yang modern. Ambisi untuk mengaplikasikan teknologi
informasi dan komunikasi dalam pelayanan publik dimanifestasikan dengan membuat
banyak aplikasi dan kanal untuk meningkatkan pelayanan publik.
Setidaknya sampai
tahun 2018 sudah ada 78 aplikasi (Tribunnews, 7/9/2018). Namun, sebagian besar
sudah mati suri. Aplikasi pengaduan masyarakat SIARAN bahkan tidak familiar,
dan menurut pengakuan masyarakat, respon dari Pemkot sangat lambat.
Terakhir adalah aspek
religiusitas Tangsel. Bagaimana kota ini disebut religius bila orang terdekat
Walikota saja masuk bui karena korupsi. Tangsel merupakan salah satu Kota yang
kerap berurusan dengan KPK. Tahun lalu gedung baru Pemkot Tangsel diperiksa KPK
karena dugaan ketidaksesuaian anggaran. Celakanya lagi, seorang guru honorer di
Tangsel justru dipecat karena melaporkan adanya pungli di sekolahnya (Kompas,
29/6/2019). Fenomena ini tentu memalukan bagi sebuah Kota yang memiliki motto
cukup progresif, yakni cerdas, modern,
dan religius.
Tantangan ke
depan bagi para calon walikota Tangsel adalah bagaimana kemudian memberikan
tawaran perbaikan atas permasalahan yang ada. Faktanya, saat ini Tangsel belum
mandiri, karena berada di bawah bayang-bayang pemilik modal.
Comments