Babak Baru Ujian Nasional

Pasca Ujian Nasional (UN) dinyatakan sebagai alat pemetaan pendidikan dan bukan sebagai alat kelulusan tidak membuat polemik UN surut dari perbincangan publik. Iwan Pranoto dalam artikelnya di Harian Kompas (7/1/15) bahkan secara bernas mempertanyakan urgensi diselenggarakannya UN pada tahun ini.
           
Pada kesempatan ini, penulis ingin mempertanyakan UN sebagai alat pemetaan yang ditawarkan oleh Kemdikbud. Utamanya, pemetaan dari aspek pendidikan nasional yang mana yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Sehingga, kehadiran UN bisa menjawab mengenai progres dari kualitas pendidikan nasional dan solusi untuk meningkatkannya.
           
Pertama, terkait dengan kualitas pendidikan, dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah telah menetapkan delapan standar pendidikan nasional yang meliputi: standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.
           
Pertanyaannya kemudian, apakah UN akan digunakan untuk memetakan delapan standar ini, sebagaimana telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Bila benar demikian, maka Kemdikbud hanya akan mengulang kesalahan yang sama. Kesaktian UN yang hanya menekankan pada aspek kognitif empat mata pelajaran tentu patut kita pertanyakan. 
           
UU memang menyatakan perlunya evaluasi untuk mengetahui tercapai atau tidaknya standar nasional pendidikan tersebut, khususnya pada tiga elemen, yaitu: evaluasi terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. Namun, apakah pendidikan nasional hanya membutuhkan satu model evaluasi seperti UN untuk menjawab permasalahan-permasalahan pendidikan?
           
Bila kita mengacu pada PP No. 19 tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan PP No.32 tahun 2013, tepatnya pada pasal 66 ayat (1) disebutkan bahwa penilaian hasil belajar oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Artinya, UN memang hanya digunakan untuk mengukur kompetensi lulusan saja.
           
Penjelasan ini membawa kita pada pemahaman bahwa UN memang tidak tepat bila digunakan untuk mengukur atau memetakan delapan standar nasional pendidikan sekaligus. Niatan Mendikbud untuk membedah hasil UN hingga level pemahaman siswa mengenai pokok-pokok materi dalam satu mata pelajaran pada dasarnya hanya sebagai informasi pencapaian siswa. Hal tersebut tidak mampu melihat apakah metode pengajaran dan kurikulum sudah tepat, sarana dan prasarana sudah mencukupi, serta benarkah kebijakan anggaran dapat berdasarkan nilai UN?
           
Mencermati hal tersebut, maka pemerintah harus fokus membidik target sasaran dari penyelenggaraan UN. Bila tetap memaksakan, maka tujuan untuk mengetahui pemetaan pendidikan justru hanya akan menghamburkan uang rakyat karena tidak tepat sasaran.
           
Poin kedua menyangkut babak baru UN adalah ihwal rencana Mendikbud yang menginginkan UN tidak dilaksanakan secara serentak dan dapat diulang oleh siswa yang gagal dalam ujian tahap pertama. Menurut penulis, pandangan ini membuat Mendikbud seolah memiliki standar ganda terkait penerapan UN. Disatu sisi, UN dinyatakan bukan sebagai alat kelulusan tapi disisi lain ada kategori siswa yang gagal dan dapat mengulang kembali.
           
Permasalahannya adalah bila UN tidak menjadi alat kelulusan dan hanya untuk pemetaan, maka siwa yang lulus Ujian Sekolah dan serangkaian penilaian non-kognitif yang diberikan guru dapat dinyatakan lulus dan otomatis berhak melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Lantas, mengapa mereka harus mengulang UN lagi? Bagaimana pemerintah menggiring siswa SMP yang telah berada di jenjang SMA untuk mengerjakan kembali soal-soal UN SMP, begitupula dengan mahasiswa?
           
Selanjutnya, bila UN diselenggarakan di awal semester sebagaimana rencana Mendikbud, maka otomatis siswa baru dapat menangkap materi pelajaran yang ia terimanya semenjak kelas VII-VIII (SMP) dan kelas X-XI (SMA/SMK). Bagaimana Kemdikbud membuat presentase soal dalam UN yang berstandar nasional tersebut? Kemudian, bagaimana nasib atau status siswa yang sudah beberapa kali mengikuti UN tapi nilainya tidak memenuhi standar?

Lebih lanjut, penulis mengapresiasi upaya Kemdikbud untuk tidak melaksanakan UN secara serentak dan tiap tahun. UN tiap tahun pada dasarnya hanya mampu memotret standar individu siswa dalam memecahkan soal-soal UN tapi belum mampu menggambarkan adanya progres dari perbaikan kebijakan di sektor pendidikan yang dilakukan pemerintah. Sebab, pemerintah butuh waktu untuk menyiapkan strategi perbaikan dan mengaplikasikannya untuk kemudian dipotret kembali.

Meskipun begitu, pemerintah harus tetap membuat satu metode pengukuran kualitas individu siswa di level nasional untuk melihat pencapaian prestasi siswa. Karena standar lokal dan nasional pasti berbeda. Hal ini juga bisa dipakai untuk menaikkan grade sebuah sekolah atau bahkan menurunkannya. Intinya, Kemdikbud harus membuat mekanisme pengukuran standar nasional pendidikan di luar UN sesuai kebutuhan. Misal, riset untuk mengkur kualitas guru, kecukupan sarana dan prasarana. Sehingga ke depan Balitbang Kemdikbud harus mampu menjadi garda terdepan dalam menciptakan berbagai metode untuk memotret kualitas pendidikan nasional.


Penulis pun akhirnya sepaham dengan para pini sepuh dunia pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang dapat dikelola dengan asal-asalan. Oleh karenanya, pemerintah khususnya Kemdikbud harus cermat dalam merumuskan kebijakan pendidikan nasional.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial