Wacana Kredit untuk Kuliah


Dalam rangka meningkatkan akses pendidikan di perguruan tinggi, pemerintah akan mendorong adanya kredit lunak kepada mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya (Kompas, 26/3/2018). Kebijakan tersebut jelas salah kaprah.
Menurut pemerintah, sasaran kredit lunak adalah kelompok mahasiswa yang masuk dalam kategori miskin, rentan miskin, dan menengah-bawah. Bagaimana mereka mendapatkan pinjaman untuk sebuah kegiatan yang produktivitasnya tidak dapat langsung dirasakan. Padahal, pinjaman untuk membuka usaha yang produktivitasnya dapat dirasakan langsung saja sangat sulit, karena mereka umumnya terkendala dengan persoalan agunan.
Pihak kreditur tentu tidak mau ambil resiko dengan memberikan pinjaman tanpa adanya agunan, karena bila terjadi gagal bayar (wanprestasi) maka akan menjadi kerugian. Selanjutnya, bila skenario pembayaran atau angsuran dilakukan tidak secara langsung, yakni ketika mahasiswa sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan, tentu hal ini akan mempengaruhi arus kas dari kreditur.
Permasalahan menjadi lebih kompleks karena lulusan dari perguruan tinggi belum tentu mendapatkan pekerjaan yang layak. Bahkan, data BPS (2017) menunjukkan ada 5,18% masyarakat berpendidikan sarjana ke atas yang masih menganggur, sedangkan pengangguran dengan latar belakang pendidikan diploma sebanyak 6,88 persen. Kondisi ini tentu memprihatinkan, dan bagaimana pemerintah, termasuk kampus dapat memberikan jaminan bahwa mereka yang telah berhutang demi perkuliahannya tersebut mampu melunasi hutangnya bila kondisinya seperti itu.
Student loan, sebagaimana ada di negara seperti Amerika harusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah kita. Kredit untuk keperluan kuliah ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Hutang selama kuliah ternyata lebih besar daripada gaji yang didapat ketika lulus. Sehingga, debitur kesulitan dalam mencicil pinjaman dan terpaksa harus mengorbankan kebutuhan lainnya seperti memiliki rumah, menikah, dan untuk memiliki anak.
Penulis melihat ada kegamangan dari pemerintah. Disatu sisi, pendidikan tinggi dilihat bukan sebagai keharusan, apalagi bila yang ingin dicapai oleh masyarakat adalah kesejahteraan ekonomi. Tapi disisi lain, angka partisipasi pendidikan tinggi yang hanya 25% (BPS, 2017), membuat pemerintah kelimpungan dan mencoba mewacanakan kredit untuk mahasiswa demi mendongkrak angka partisipasi terebut.
Wacana kredit untuk kuliah ini juga menunjukkan bahwa pemerintah belum melihat pendidikan sebagai kebutuhan publik dimana tanggungjawab negara adalah sebuah kewajiban. Sehingga, pendekatannya pun cenderung menggunakan pendekatan pasar. Padahal, pendidikan merupakan hak dan menjadi tanggungjawab negara, meskipun kewajiban pokok negara menurut undang-undang hanya sampai SMP. Saat ini, wajib belajar hingga SMA sederajat hanya sebatas niat baik pemerintah dan belum menjadi kewajiban, karena belum diatur dalam undang-undang.
Misi presiden Jokowi bersama wapres Jusuf Kalla salah satunya adalah mewujudkan kualitas hidup manusia yang tinggi, maju, dan sejahtera. Untuk mencapai cita-cita tersebut salah satunya dengan membuka akses yang luas terhadap pendidikan. Bila kemudian keterbatasan anggaran menjadi persoalan, bukan berarti pemerintah harus mengurangi perannya dan membiarkan masyarakat terjerumus dalam lilitan hutang.
Mengacu pada Survei Susenas BPS tahun 2015, sebagaimana dilansir oleh Harian Kompas, kebutuhan tiap bulan per mahasiswa setidaknya sebesar Rp. 6.132.856. Bila rata-rata mahasiswa menghabiskan empat tahun waktu kuliah, maka mereka membutuhkan biaya Rp.294.377.008.
Angka tersebut tentu sangat luar biasa besarnya. Mengapa pemerintah tidak mendorong masyarakat yang tidak mampu untuk melanjutkan kuliah lantaran biaya yang mahal agar menjadi entrepreneur? Lagipula, jumlah wirausaha kita masih minim, yakni dibawah 2% dan perlu ditingkatkan. Kredit tentunya lebih tepat bila dipakai untuk kegiatan produktif yang dapat dirasakan langsung manfaat atau hasilnya.
Sehingga, karena kuliah tidak menjamin seseorang mendapatkan kesejahteraan, maka memfasilitasi mereka yang tidak dapat mengenyam bangku kuliah untuk dapat mandiri menjadi salah satu tugas wajib pemerintah demi meningkatkan kesejahteraan atau taraf hidup masyarakatnya. Bukankah sudah banyak cerita sukses dari orang-orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Jadi kenapa pemerintah harus terjebak dengan angka partisipasi pendidikan tinggi yang rendah?
Kemudian, bila kuatir rendahnya angka partisipasi pendidikan tinggi yang rendah dianggap sebagai kegagalan pemerintah, hal ini dapat diatasi tidak dengan cara menganjurkan agar mahasiswa berhutang. Peningkatan subsidi terhadap PTN dan PTS dapat dipilih oleh pemerintah untuk membuka akses masyarakat tidak mampu terhadap pendidikan tinggi.
Meskipun terbatas, beasiswa prestasi dan bidikmisi yang digelontorkan pemerintah terbukti dapat membantu mahasiswa yang berasal dari kalangan tidak mampu. Keterbatasan anggaran bukan berati hambatan, karena pemerintah atau kampus dapat merangkul swasta dan BUMN untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan skema bantuan pendidikan kepada mahasiswa tidak mampu.
Kampus juga dapat berpartisipasi dalam konteks pengabdian masyarakat. Melibatkan mahasiswa, khususnya tidak mampu dalam penelitian dan dalam usaha yang dijalankan kampus tentu sangat membantu.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, maka sudah sepantasnya bila pemerintah tidak melanjutkan wacana kredit untuk mahasiswa yang cenderung menambah pelik persoalan pendidikan kita.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial