Kuasa Warga dalam Pilkada

Netralitas aparatur sipil negara (ASN) selalu menjadi sorotan dalam hajatan pilkada, tak terkecuali menjelang Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 mendatang. Permasalahan ini mudah dijelaskan secara teori namun sulit dalam implementasinya. 

Akademisi sekaligus mantan Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson (1887) mengungkapkan bahwa seharusnya, ketika proses politik selesai, maka proses administrasi publik dimulai. Wilson menginginkan adanya dikotomi antara politik dan administrasi, di mana ranah administrasi publik harus dibiarkan netral dan tidak tersandera oleh kepentingan-kepentingan politik.

Sayangnya, kondisi ideal tersebut sangat sulit untuk diwujudkan, termasuk di negara Amerika sendiri. Karena realitasnya, pejabat publik lahir dari sebuah kontestasi politik. Sehingga, bila Partai Republik berkuasa di Amerika Serikat maka jabatan strategis sudah pasti berasal dari kelompok penguasa, begitu pula sebaliknya bila Partai Demokrat yang memenangi pemilu. Hal ini sudah seperti menjadi aturan tak tertulis mengenai distribusi kekuasaan. 

Kondisi ini berpengaruh pada kepentingan politik kelompok penguasa dalam mengagregasikan kepentingannya. Kemudian, proses distribusi kekuasaan ini berlanjut dan mempengaruhi kontestasi politik seperti pilkada yang akan dilaksanakan beberapa bulan kedepan. Fenomena inilah yang kemudian menjadi kekuatiran karena ASN akan terjebak dalam tarikan politik kelompok tertentu.

Lantas bagaimana publik menyikapi hal ini? Relasi antara warga negara dengan pejabat publik seperti kepala daerah sebenarnya merupakan sebuah kontrak. Dimana publik berharap dengan memberikan suaranya (vote) kepada calon tertentu dengan mendatangi bilik suara agar aspirasinya dapat diwujudkan oleh kandidat. Sementara, kandidat membutuhkan suara dari publik untuk memenangkan kontestasi. Jadi ada pertukaran antara suara masyarakat dengan aspirasi publik yang akan diwujudkan oleh kandidat.

Selanjutnya, ketika kontrak tersebut gagal dipenuhi oleh kepala daerah terpilih harusnya membuat masyarakat “mencabut suaranya” pada kontestasi berikutnya. Sayangnya fenomena ini tidak terjadi. Publik kerap mengulang kesalahan yang sama dengan tetap memberikan suara pada kandidat yang telah wanprestasi tersebut.

Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam konteks pilkada tetapi juga dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Seharusnya demokrasi memberikan ruang yang besar bagi publik untuk melakukan koreksi terhadap pejabat publik yang gagal menjalankan amanat (kontrak) dari rakyat tersebut. Tapi faktanya, pejabat publik yang underperform tetap melenggang dan mengisi jabatan-jabatan publik. 

Artinya, publik masih belum dapat menggunakan power dengan baik. Vote adalah senjata ampuh bagi warga negara dalam mewujudkan pejabat publik yang melayani. Bila masih ada pejabat publik yang korup dan tidak kompeten berarti kesalahan juga ada pada pemilik suara. Karena di era demokrasi, sesungguhnya rakyat memiliki peran sentral dalam upaya mewujudkan kebijakan publik yang pro rakyat. Hal ini di awali dengan memilih pemimpin yang mampu mewujudkan cita-cita masyarakat.

Di era digital saat ini, informasi sangat mudah didapat dan seharusnya bisa dimaksimalkan oleh masyarakat dalam menggali para calon pemimpin. Pegiat politik, kaum terpelajar seharusnya mampu mengadvokasi masyarakat dan ikut memberikan pemahaman politik yang baik kepada publik.

Bila publik atau pemilih kita tercerahkan, maka hegemoni partai politik yang selama ini dinilai merugikan masyarakat dapat diminimalisasi. Partai pun dapat kita “paksa” untuk membenahi diri dengan menampilkan kandidat yang berintegritas dan berkompeten untuk mengembalikan kepercayaan publik. Sehingga salah satu fungsi partai politik yakni pendidikan politik bagi masyarakat dapat benar-benar diwujudkan.

Jadi pada prinsipnya, diskursus mengenai netralitas ASN, politik uang, politik dinasti, tidak dapat kita pasrahkan pada elite akan tetapi, publik juga harus menyadari mengenai kekuatan sebuah vote dalam menghadirkan pemimpin yang melayani. Sebab, pengaruh politik dalam birokrasi publik mustahil dihilangkan. 

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial