Maju-Mundur Perguruan Tinggi


Perguruan Tinggi (PT) sebagai produsen SDM berkualitas saat ini sedang menjadi sorotan publik. Bukan hanya karena merebaknya ijazah palsu, tapi juga terkait dengan kualitas PT di tanah air. Daya saing PT kita rendah dan jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.
            
Menurut data dari QS World University Rangkings tahun 2014, Universitas Indonesia (UI) sebagai kampus nomor wahid di Indonesia bahkan terus merosot peringkatnya dari sebelumnya tahun 2012 ada diurutan  273, tahun 2013 diposisi 309, dan kini pada tahun 2014/2015 berada pada peringkat 310 dunia. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Singapura dimana PT-nya terus naik peringkat sejak 2012 sampai sekarang.
            
Tercatat peringkat National University of Singapore berturut-turut  dari tahun 2012 sampai 2014 adalah: 25, 24, dan 22. Sedangkan Nanyang Technological University juga melesat dari peringkat 47 pada 2012 dan menjadi peringkat 39 di 2014. Ironisnya, kita kalah dari Malaysia yang berhasil menempatkan lima PT-nya berada di daftar 500 kampus terbaik dunia, mengungguli UI dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
            
Melihat segenap permasalahan yang ada di pendidikan tinggi, rasanya lumrah bila peringkat dunia PT di Indonesia terus merosot. Dari aspek akreditasi saja masih lemah. Meskipun sudah sekitar 88%  (19.047) program studi (prodi) PT telah diakreditasi, namun faktanya hanya 1.785 prodi atau 9,37% yang mendapat akreditasi A. Sedangkan mayoritas prodi, yakni sebesar 50,28% akreditasi C dan 40,35% akreditasi B. Artinya, kualitas kampus kita masih rendah. Karena, akreditasi C merupakan akreditasi yang otomatis didapat ketika PT atau prodi didirikan dan disetujui oleh pemerintah.
            
Tak hanya akreditasi prodi saja yang rendah, tapi akreditasi PT juga masih rendah. Data Kemristekdikti menyebutkan dari 4.274 PT, baru 164 (3,84%) yang telah terakreditasi. Kondisi ini semakin menegaskan kepada kita betapa masih jauhnya PT kita dari standar nasional pendidikan tinggi sebagaimana diamanatkan dalam UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
            
Kalau akreditasinya saja sudah rendah bagaimana kita berharap akan lahir SDM yang benar-benar mumpuni untuk dapat bersaing di kancah global. Akreditasi menjadi penilaian utama lantaran didasarkan pada penilaian terhadap aspek-aspek yang meliputi standar nasional pendidikan, standar penelitian, dan standar pengabdian masyarakat.
            
Pertanyaannya kemudian, apakah sekarang sudah terlambat? Jelas terlambat, karena akhir tahun ini secara resmi kita akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Celakanya, selain persoalan kualitas, dunia pendidikan, termasuk pendidikan tinggi juga masih disibukkan dengan persoalan akses. Data BPS tahun 2013 mencatat, APK PT kita hanya sebesar 23,06 persen.
            
Hal ini bukan tidak disadari oleh pemerintah. Dalam rencana strategis Dikti 2015-2019 bahkan prioritas diberikan pada usaha meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Sayangnya, hal tersebut justru mendagradasi pemenuhan akses pelajar miskin untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi.
            
Buktinya, tahun 2015 jumlah mahasiswa penerima bidikmisi turun, dari 63.080 pada tahun 2014 menjadi 60.000 pada 2015. Kemudian alokasi untuk beasiswa peningkatan prestasi akademik (PPA) dan bantuan biaya pendidikan (BBP) juga mengalami penurunan, dari 61.400 pada tahun 2014 menjadi 50.415 pada tahun 2015.
            
Artinya, dalam usaha merumuskan kebijakan menyangkut akses dan kualitas pendidikan tinggi, pemerintah masih belum dapat memberikan porsi yang seimbang. Sehingga, ketika ingin meningkatkan salah satu sasaran kerap mengorbankan sasaran lainnya.
             
Tak dapat ditawar, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia, salah satunya adalah dengan membuka akses yang besar terhadap PT berkualitas. Sayangnya, banyak akademisi yang masih berbeda pandangan bagaimana menyelesaikan persoalan ini. Sebagian besar menginginkan agar PT berkualitas maka harus dibiarkan mandiri (otonom), baik dari segi pengelolaan keuangan dan manajemennya. Mereka berpandangan bahwa liberalisasilah yang akan mampu menciptakan efisiensi dan membuat PT leluasa menjalankan fungsinya.
            
Selanjutnya, konsep PTN Badan Hukum yang selama ini digadang-gadang menjadi solusi pengelolaan PT yang lebih fleksibel dan berkualitas nampaknya belum menunjukkan hasil. Misalnya saja UI yang peringkatnya justru terus menurun ketika menyandang status PTN Badan Hukum. Begitupula ITB yang peringkatnya jalan di tempat meskipun sudah berstatus PTN Badan Hukum.
            
Menyikapi hal ini, rupanya pemerintah memang tidak bisa tinggal diam. Bantuan baik itu untuk penelitian maupun untuk operasional kampus sepertinya tidak relevan bila didasarkan pada mutu kampus (akreditasi prodi dan PT). Karena skema semacam ini hanya akan membuat kampus-kampus yang mutunya rendah akan jalan di tempat. Meskipun begitu, bantuan pemerintah dalam upaya meningkatkan akses mahasiswa tidak mampu harus terus diperluas di semua kampus.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial