Bangkitkan Kultur Membaca
“Kenyataan-kenyataan
yang kulihat dalam duniaku yang gelap hanyalah kehampaan dan kemelaratan.
Karena itu aku mengundurkan diri ke dalam apa yang dinamakan orang Inggris
'Dunia Pemikiran'. Buku-buku menjadi temanku.” (Soekarno).
Bung
Karno, sebagai salah satu founding
fathers begitu menaruh perhatian besar pada dunia baca, dunia yang oleh
orang Inggris dikatakan sebagai ‘dunia pemikiran’, dunia yang membawanya
berkenalan dengan tokoh-tokoh besar. Sehingga membuka cakrawala dan
menyadarkannya akan pentingnya Indonesia merdeka. Tak hanya Soekarno, golongan
cendekia pada masa itu umumnya berkawan baik dengan buku, bahkan ketika harus
diasingkan, seperti Hatta, Sjahrir hingga Tan Malaka.
Namun,
bagaimana dengan minat baca masyarakat kita saat ini. Dari 38 negara yang
disurvei oleh Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD, 2011) minat baca masyarakat Indonesia menempati urutan paling
buncit. Sedangkan data BPS tahun 2012 mengungkap 91,67% masyarakat Indonesia
suka menonton TV, sedangkan yang suka membaca hanya 17,66%. Hal ini
mengindikasikan telah terjadinya pergeseran yang cukup signifikan terkait
dengan cara masyarakat memperoleh informasi dan hiburan.
Tak
dapat dipungkiri, minimnya minat baca antara lain disebabkan oleh perkembangan
teknologi. Informasi kini tak hanya bisa didapat dari tulisan-tulisan, tapi
bisa dilihat dan didengar dengan media audio-visual. Berkembangnya internet
juga semakin memarginalkan informasi dari media cetak. Lantas apa salahnya
dengan perkembangan teknologi yang memang tak dapat dibendung lajunya. Bukankah
negara-negara seperti Finlandia, Korea, Australia dan Jepang tak luntur minat
bacanya meskipun mereka berada di negara yang jauh lebih maju ketimbang
Indonesia.
Membaca
memberikan kepuasan tersendiri bagi para penikmatnya. Menurut Gray & Rogers
(1995), membaca dapat meningkatkan ilmu pengetahuan, mengembangkan daya nalar,
dan memenuhi kepuasan intelektual. Berbeda
dengan tayangan TV atau radio, sumber bacaan, terutama media cetak merupakan
media yang tak pernah daluarsa. Sebagaimana dikatakan oleh senator asal Roma,
Caius Titus bahwa yang terucap akan mudah hilang sedangkan yang tertulis akan
abadi (verba volant, scripta manent).
Bila
dikatakan pelajar kita miskin nalar dan kreativitas, mungkin salah satu
penyebabnya adalah karena minimnya minat baca siswa. Selama ini, metode
pengajaran kita memang tidak membantu para siswa untuk banyak membaca. Sehari-hari
mereka hanya dijejali dengan latihan soal, menjawab soal multiple choice,
dan menjawab sesuai dengan isi buku yang telah diwajibkan oleh pendidik atau
sekolah. Alhasil, siswa hanya menjadi “manusia penghafal” dan tidak memiliki
kemampuan analisa yang mumpuni. Membaca baru sampai mengenali apa yang tersurat
dan siswapun gagal menggali pesan yang tersirat.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Paulo Freire (1990), membaca bukan sebatas pada teks yang
tertulis saja, tapi juga perlu mengerti konteksnya. Membaca tak sekedar
mengartikulasikan kata-kata tapi juga memahami konteks tulisan dan latar
belakang tulisan tersebut, sehingga kita mampu “membaca dunia”.
Lantas,
bagaimana kita bisa membangkitkan minat baca masyarakat? Penanaman sejak dini
di lingkungan keluarga memang wajib, namun bila orang tua sudah terlanjur
kehilangan minat, maka sekolah sebagai institusi pendidikan harus menjadi garda
terdepan.
Kurikulum
harus memfasilitasi tumbuh kembangnya budaya membaca. Guru menjadi fasilitator
yang berperan krusial dalam mensukseskan program ini. Metode pembelajaran
konvensional yang mendewakan guru sebagai pemilik kebenaran tunggal harus
dihilangkan. Membaca seharusnya menjadi Pekerjaan Rumah (PR) siswa yang
selanjutnya bisa didiskusikan di kelas guna mengasah pengetahuan dan pemahaman
siswa atas sebuah masalah. Sehingga, sumber pembelajaran tak hanya berdasarkan
buku tertentu yang diwajibkan oleh sekolah dan mungkin kerap menjadi ajang
proyek bagi oknum sekolah, ketimbang niat tulus untuk memberikan sumber bacaan
terbaik bagi siswa didik.
Membaca
membutuhkan media, baik yang dicetak maupun online. Oleh karena itu,
ketersediaan buku sebagai salah satu sumber bacaan harus dipenuhi. Celakanya,
jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia masih rendah, yakni 18.000 judul/tahun,
kalah jauh dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 40.000 judul, India 60.000,
dan China 140.000 judul buku (Kompas, 25/6/2012).
Sudah
menjadi rahasia umum, dari jumlah terbitan buku yang sedikit tersebut, hanya
bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah-atas. Selain karena harga buku
yang tidak murah, kesadaran akan pentingnya membaca juga belum muncul
dikalangan ekonomi bawah. Oleh karenanya, misi meningkatkan minat baca menjadi
tugas berat sekolah dan perpustakaan nasional (perpusnas). Sinergisitas antara
sekolah dan perpustakaan mesti dibangun guna menyediakan bahan bacaan yang
berkualitas dan terjangkau.
Rencana
hadirnya UU tentang Perbukuan mampu memberikan angin segar bagi upaya membangun
minat baca masyarakat. Karena dalam RUU yang sedang dibahas oleh pemerintah dan
DPR tersurat upaya untuk melindungi penulis dan pembaca, mendorong budaya
baca-tulis, serta memenuhi tuntutan bacaan berkulitas dengan harga yang
terjangkau (Ps.4 RUU tentang Sistem Perbukuan Nasional).
Merubah
kebiasaan memang sulit, namun bukan berarti tidak bisa. Kebiasaan membaca harus
segera ditumbuhkan dan kebijakan pemerintah mesti berpihak pada hal tersebut.
Semoga kita tidak menjadi bangsa yang masyarakatnya memiliki pengetahuan
kerdil. Semoga bangsa ini mampu beranjak dari kegelapan dan siap “membaca
dunia”.
Comments