Jerat Akreditasi
Gelar akademik
merupakan salah satu kebanggaan bagi mereka yang telah merelakan materi, waktu
dan pikiran selama bertahun-tahun di perguruan tinggi. Aspek legalitas dalam menimba
ilmu bahkan menjadi penanda status sosial seseorang di masyarakat. Namun, apa
jadinya bila ijazah sebagai penanda kaum terpelajar tidak diakui kebasahannya
oleh negara. Bukankah tidak ada lagi pembeda antara mereka yang mengenyam
pendidikan formal dan informal.
Fenomena ini
menyeruak, lantaran kebijakan pemerintah soal akreditasi satuan pendidikan. Pasal
60 ayat (1) UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan
bahwa akreditasi merupakan upaya untuk menentukan kelayakan program dan satuan
pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non-formal. Policy ini lahir dengan
semangat menjamin tersedianya layanan pendidikan yang berkualitas bagi warga
negara yang kewenangannya melekat pada Badan Akreditasi Nasional (BAN S/M, BAN
PT, dan BAN PNF).
Namun
cita-cita mulia ini masih jauh panggang dari api. Dari situs BAN-PT tercatat
hingga akhir April 2013, terdapat 3.415 program studi (jenjang DI-S3 di seluruh
Perguran Tinggi) yang telah kadaluarsa akreditasinya. Menurut pengakuan ketua
BAN-PT, Mansyur Ramly, dengan jumlah asesor saat ini, yaitu 1000 orang,
pihaknya mampu mengakreditasi 5000-6000 program studi/tahun. Jika demikian,
lantas mengapa masih banyak program studi yang belum terakreditasi? Lebih
lanjut, dari 326.004 sekolah/ madrasah, ternyata masih ada 64.047 (19,65%) yang
belum terakreditasi.
Padahal,
akibat satuan pendidikan belum terakreditasi atau telah habis masa
akreditasinya sangat membahayakan bagi peserta didik. Pasal 42 ayat (1) UU
No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa ijazah diberikan
kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan
terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program studi
terakreditasi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi. Implikasinya adalah semua
perguruan tinggi yang program studinya tidak terakreditasi dilarang
mengeluarkan ijazah. Alhasil, mahasiswa yang telah menyelesaikan studi akan
sia-sia lantaran akan kehilangan haknya untuk mendapatkan bukti kelulusan.
Tak mau
tercoreng kredibilitasnya, banyak perguruan tinggi yang memaksakan diri untuk
tetap mengeluarkan ijazah tanpa legalitas dari pemerintah. Padahal, menurut UU
No.20 tahun 2003, pihak yang memberikan ijazah tanpa hak dapat dipenjara
maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1 miliar (Pasal 67 ayat 1).
Kemudian,
siswa yang sekolahnya tidak terakreditasi akan terampas haknya untuk
mendapatkan ijazah. Sebab, prasyarat untuk memperoleh ijazah adalah lulus ujian
nasional (UN) yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi
(Pasal 61 ayat (2) UU No. 20 tahun 2003). Dengan kata lain, satuan pendidikan
yang tak terakreditasi tidak bisa menyelenggarakan UN, dan otomatis dilarang
mengeluarkan ijazah. Namun, hal ini kerap diakali oleh pemerintah dengan
mengikutkan siswa yang sekolahnya tidak terakreditasi untuk ujian di sekolah
yang sudah terakreditasi.
Mungkin karena
menyadari kekurangannya, pemerintah pun lantas berkompromi dengan sanksi yang
telah dibuat. Tidak ada pemidanan bagi pejabat kampus yang mengeluarkan ijazah meski
lembaganya tidak terakreditasi. Penutupan Perguruan Tinggi (PT) dan program
studi yang tidak memiliki akreditasi juga urung dilakukan. Bagaimana kita bisa
mencapai mutu berkualitas jika aturan yang sudah dibuat dilanggar sendiri.
Kondisi ini
merupakan anomali dari kebijakan akreditasi pendidikan. Akreditasi justru
mengebiri hak-hak peserta didik untuk mendapatkan pengakuan atas prestasinya
selama menempuh pendidikan. Sekali lagi, peserta didik selalu menjadi korban
atas kebijakan pendidikan yang tidak bertanggung jawab. Lantas, siapa yang
patut dipersalahkan?
Menurut
penulis, setidaknya ada tiga alasan mengapa akreditasi malah menyandera peserta
didik, pertama adalah keengganan satuan pendidikan untuk melakukan akreditasi
ulang. Hal ini mungkin disebabkan karena satuan pendidikan sudah tidak memenuhi
lagi persyaratan untuk mendapatkan akreditasi, seperti sarana dan prasarana
yang tak lagi memadai, serta kelengkapan lainnya untuk bisa menyelenggarakan
pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Kedua adalah
kegagalan pemerintah dalam melakukan proses akreditasi. Pemerintah tidak
proaktif dalam melaksanakan akreditasi. Proses akreditasi lambat, yang
selanjutnya berimbas pada kadaluarsanya status akreditasi satuan pendidikan.
Namun,
pemerintah selaku pihak yang paling bertanggung jawab memiliki alasan sendiri. Berbagai
dalih dikemukan oleh pihak BAN di masing-masing satuan pendidikan terkait
dengan kegagalan program akreditasi tersebut. Minimnya jumlah asesor dan
keterbatasan dana kerap menjadi kambing hitam dari buruknya kinerja BAN. Meskipun
begitu, pengakuan dari ketua BAN-PT, jumlah asesor sepertinya bukan kendala
utama, karena dengan asesor yang ada saat ini, pihaknya mengaku mampu
mengakreditasi program studi hingga 6000 per tahunnya. Sedangkan soal alokasi
anggaran untuk BAN memang patut mendapatkan perhatian. Dalam APBN 2013,
anggaran untuk BAN-PT: Rp.120 miliar, BAN-S/M: Rp.137 miliar, BAN-PNF: Rp.29
miliar. Padahal jumlah program studi ribuan dan tersebar di berbagai kota di
Indonesia.
Untuk
mengatasi karut-marutnya proses akreditasi satuan pendidikan, UU telah
memberikan ruang adanya Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM). Asosiasi Perguruan
Tinggi Swasta Indonesia pun semangat untuk membidani lahirnya LAM. Namun, yang
menjadi persoalan adalah pembiayaan untuk LAM itu sendiri. Bila negara yang
membiayai, maka mengapa mesti ada LAM, kenapa anggaran tidak ditambahkan saja
untuk BAN. Bila LAM diperbolehkan untuk memungut dana dari satuan pendidikan
dan menjadi industri baru dibidang pendidikan, maka satuan pendidikan tentu
akan memilih BAN yang tidak memungut biaya dalam proses akreditasi. Selanjutnya,
bagaimana positioning LAM dan BAN?
Mengingat
akreditasi memegang peranan penting (key
role) dalam menjamin standar mutu pendidikan nasional, seyogyanya dukungan
anggaran diprioritaskan. Apalagi, BAN merupakan lembaga nir-laba yang hanya
mengandalkan pembiayaan dari APBN dan APBD (khusus untuk BAN S/M provinsi).
Namun untuk mendapatkan perkiraan jumlah kebutuhan anggaran yang tepat, maka
perlu dilakukan kajian komprehensif mengenai kebutuhan Man Power Productivity (jumlah asesor) dalam pelaksanaan akreditasi
tiap satuan pendidikan. Termasuk kebutuhan sarana dan prasarana serta biaya
yang dibutuhkan selama melakukan proses akreditasi ke daerah-daerah.
Selanjutnya,
untuk meminimalisir biaya proses akreditasi, perlu desentraliasi BAN-PT dan
BAN-PNF (sama seperti BAN-S/M). Sehingga, proses akreditasi tidak perlu
dilakukan oleh pusat, tapi oleh provinsi yang tentunya bisa lebih efektif dan
efisien. Pemerintah daerah pun dituntut andil dalam pembiayaan dan pelaksanaan
akreditasi yang tentunya sejalan dengan semangat otonomi daerah bidang
pendidikan.
Akhirnya,
kebijakan akreditasi perlu mendapat perhatian serius dari seluruh stakeholders pendidikan. Bola yang sudah
ditendang harus berbuah gol. Sehingga langkah akreditasi linear dengan upaya
menciptakan standar kualitas pendidikan nasional bukan malah menjerat peserta
didik dalam perangkap kebijakan para elite.
Comments