Mendikbud (Pak Nuh) Perlu Introspeksi Diri

         Sebagaimana Taufik Kiemas, yang mengatakan bahwa M.Nuh orang baik, sayapun idem dengannya. Namun orang baik bukanlah tanpa kekurangan. Orang baik tidak menjadi simbol kesempurnaan. Orang baik juga bisa salah, khilaf, dan bahkan tersesat. Tapi salah satu ciri yang mungkin menjadi ke-khasan Menteri Nuh adalah bahwa dia merupakan menteri kontroversial dan keras kepala.
            Setahun menjadi Menkominfo, menggantikan Sofyan Djalil pada tahun 2007, M. Nuh langsung membuat keputusan kontroversial dengan mengeluarkan surat edaran No.84/M.KOMINFO/04/08 kepada Internet Service Provider (ISP) agar memblokir situs yang memuat film fitna. Film yang dibuat oleh Geert Wilders tersebut, dituding menghina Islam. Berbagai reaksi pun kemudian bermunculan. Banyak pihak keberatan dengan kebijakan tersebut. Pak menteri saat itu dianalogikan sedang menghancurkan dan memberangus seisi rumah demi menangkap seekor tikus. Namun, beliau justru menganalogikan pemblokiran tersebut seperti mengambil tumor dalam tubuh seseorang yang memerlukan anastesi (bius). Kebijakan pemblokiran inipun akhirnya dicabut pada 11 April 2008.
            Tak hanya soal kebijakan (policy), statement Pak Nuh sebagai menteri juga tidak berdasarkan data dan fakta. Salah satunya adalah perihal Dana Abadi Pendidikan (DAP) atau Dana Pengembangan Pendidikan Nasional. Berulangkali dalam berbagai kesempatan dan wawancara di media massa, M. Nuh selaku mendikbud dengan tegas mengatakan kalau DAP akan dipergunakan untuk beasiswa S2 dan S3 non-PNS dan non-dosen, penelitian yang berbasis energi dan pangan, serta rehabilitasi fasilitas pendidikan akibat bencana.
            Faktanya, DAP yang dikelola oleh Badan Layanan Umum yang Bernama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) diperuntukkan bagi seluruh warga negara Indonesia yang berprestasi dan ingin melanjutkan studi S2 dan S3. Jadi DAP boleh diakses oleh PNS maupun non-PNS. Beasiswa juga hanya difokuskan bagi jenjang magister dan doktor yang terbatas pada studi bidang teknik, sains, pertanian, akuntasi/keuangan, hukum dan agama.
            Mengapa pemahaman mengenai penggunaan DAP ini bisa berbeda. Padahal BLU melibatkan Kemenkeu, Kemdikbud, dan Kemenag. Apakah pak menteri enggan berkomunikasi dengan menteri lainnya? Atau setiap jawaban atas pertanyaan wartawan mengalir begitu saja, sehingga kalaupun tidak benar-benar menguasai masalah tidak akan ketahuan, sebab pak menteri bisa memberikan jawaban yang meyakinkan.
            Pasca DAP, mendikbud disibukkan dengan rencana penggantian kurikulum baru yang terus menjadi polemik di masyarakat. Hingga saat ini, halaman koran nasional hingga berita di televisi belum surut dari diskursus kurikulum 2013. Banyak yang mendukung, namun lebih banyak yang mencaci. Mendikbud dituding terlalu ambisius dengan memaksakan kurikulum baru di tahun ini. Tak hanya itu, langkah pembenahan kualitas pendidikan dengan merubah kurikulum dinilai sebagai kebijakan yang minim analisis. Tak ubahnya sakit perut yang diobati dengan obat sakit kepala, policy menjadi sia-sia karena salah sasaran.
            Pak Nuh selaku menteri selalu mengatakan akan menampung semua aspirasi masyarakat demi menyempurnakan rencana penerapan kurikulum 2013. Namun sejauh mana aspirasi tersebut benar-benar didengar dan aplikasikan? Bukankah kurikulum yang ditawarkan sejak awal, dan sudah melalui proses uji publik dan masukan dari anggota DPR tidak benar-benar dijadikan pertimbangan. Pak menteri bersikukuh dengan substansi kurikulum yang dirumuskannya sendiri. Kemendikbud tetap tidak mau mencantumkan bahasa daerah dan tidak mau menunda pelaksanaan kurikulum baru.
            Semoga sikap teguh untuk terus menjalankan kurikulum 2013 benar-benar berdasarkan hasil kajian yang mendalam, bukan karena ego pak menteri selaku penguasa dunia pendidikan. Maklum saja, karena biasanya seseorang yang sudah mencapai puncak akademik tertinggi enggan untuk mengalah, apalagi dengan mereka yang tidak memiliki label akademik.
            Belum surut polemik kurikulum 2013, pak Nuh sebagai penanggung jawab kebijakan pendidikan nasional kembali dihujani kritik pedas seputar pelaksanaan UN. Meski berdasarkan keputusan MA No.2596 K/PDT/2008, UN ditangguhkan, hingga standar nasional pendidikan terpenuhi, pak Nuh tetap saja enggan mematuhinya. Beliau berdalih UN dan pembenahan standar nasional pendidikan bisa dilakukan secara bersamaan. Padahal, MA juga memerintahkan untuk merevisi pasal-pasal dalam PP No.19 tahun 2005 yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tapi Kemdikbud tidak menggubris dan malah terus memaksa UN yang pelaksanannya kini karut-marut. Bahkan, berbagai pihak ramai-ramai mendesak pak menteri untuk mundur karena dinilai gagal menyelenggarakan “hajatan tahunan”.
            Berbagai tindak-tanduk menteri Nuh di atas mengisyaratkan bahwa beliau sangat keras kepala. Meski faktanya telah gagal dalam mengemban tugas pencerdasan kehidupan bangsa, tetap saja show must go on. Perlu disadari dan dipahami bahwa posisi menteri merupakan pucuk pimpinan yang bertanggung jawab terhadap maju-mundurnya program kementeriannya. Menteri adalah seorang pemimpin (leader), yakni orang yang mau dan mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan lainnya.
            Pak Nuh seyogyanya mampu mengingat kembali (reminder) apa yang telah diperbuat selama ini hingga masyarakat menjadi murka. Benarkah beliau minim prestasi ataukah masyarakat yang tak mampu melihat? Yang pasti, saya yakin pak menteri sepakat bahwa pendidikan nasional harus lebih baik.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial