Kurikulum State Centrist


Diskursus ihwal penerapan kurikulum baru sepertinya belum akan usai. Meskipun begitu, jalan panjang untuk memaksakan kurikulum berlaku pada Juli mendatang mulai menemui titik terang. Dukungan semakin menguat setelah Ketua Umum Partai Golkar, Abu Rizal Bakrie memberi lampu hijau kepada Mendikbud. Praktis, sampai dengan saat ini, Kemdikbud sudah mengumpulkan dukungan dari 3 partai besar (Demokrat, Golkar, dan PDI Perjuangan).
Setelah proses panjang pengkajian kurikulum 2013 diberbagai forum seperti dalam rapat-rapat di komisi X, seminar, dan sumbangsih pemikiran dari kaum cerdik-pandai di media massa, nampak diskusi intelektual perihal kurikulum berakhir antiklimaks.
Penulis mengatakan antiklimaks bukan karena kurikulum tetap jalan terus meskipun mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat, melainkan masukan-masukan baik oleh anggota legislatif, pemerhati pendidikan dan masyarakat umum lainnya ternyata belum diakomodir dengan baik oleh pihak Kemdikbud.  
Adagium anjing menggonggong kafilah berlalu sepertinya sudah mendarah daging dalam kementerian dengan anggaran terbesar ini. Pasalnya, sosialisasi kurikulum dan banyaknya respon yang diberikan oleh masyarakat ternyata tidak mengubah permasalahan substantif dan teknis yang terdapat dalam kurikulum 2013.
Misalnya saja, kritik perihal bahasa daerah yang tidak secara eksplisit dicantumkan dalam rumusan kurikulum mendatang. Kemdikbud sengaja tidak mencantumkan bahasa daerah dan menyerahkan kepada sekolah untuk mengakomodir bahasa daerah melalui muatan lokal. Hal inilah yang menakutkan banyak kalangan, karena akan memarginalkan bahasa daerah yang notabenenya semakin banyak yang punah.
Padahal, pihak Kemdikbud sendiri, melalui Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa, Dr. Sugiyono, dalam sebuah wawancara dengan BBC Indonesia (19/10/2011) pernah mengungkapkan bahwa di penghujung abad 21 ini, dari sekitar 746 bahasa daerah yang ada di Indonesia diperkirakan hanya 10% saja yang akan bertahan.
Sejurus dengan rekannya, Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud, Dra. Yeyen Maryani, M. Hum dalam sebuah kesempatan menegaskan bahwa pihak yang berwenang perlu merivitalisasi bahasa daerah yang terancam punah, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal (Kompas, 12/10/2012).
Hal ini menunjukkan betapa tidak sinerginya perumusan kebijakan ditubuh Kemdikbud. Bahkan, ketika anggota komisi X DPR meminta pencantuman secara eksplisit bahasa daerah, pihak Kemdikbud dalam jawabannya secara tertulis yang diterima oleh penulis mengungkapkan bahwa tidak dicantumkannya bahasa daerah lantaran takut menyulitkan daerah yang tidak memiliki bahasa daerah.
Ketakutan ini sejatinya membuktikan kesadaran Kemdikbud ada daerah yang bahasa lokalnya sudah punah. Pemerintah seyogyanya melakukan revitalisasi, bukan malah menciptakan ruang bagi kemungkinan terpuruknya bahasa daerah di tempat lain. Apalagi, menurut pasal 32 ayat (2) UUD 1945, negara diwajibkan untuk menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Iklim demokrasi yang sedang menjangkiti Indonesia harusnya berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan publik (public policy). Masyarakat harusnya diberikan ruang untuk ikut berpastisipasi mengutarakan gagasan-gagasannya dan menjadi pertimbangan dalam proses kebijakan yang ditelurkan pemerintah. Dalam bahasa Habermas, masyarakat harus mempunyai ruang publik (public sphere).
Sehingga, tercipta partisipasi dari masyarakat melalui interaksi antar mereka (musyawarah). Dalam hal ini kedaulatan berada ditangan rakyat, tidak di tangan sekumpulan elite (state centrist). Demokrasi akhirnya tidak melulu sekedar soal partisipasi politik dalam pemilihan umum sebagaimana diutarakan Joseph A. Schumpter (1976). Namun, demokrasi juga mencakup partisipasi masyarakat dalam semua lini (demokrasi deliberatif), termasuk proses perumusan public policy (Budi Hardiman, 2009).
Menilik konsep demokrasi deliberatif, kebijakan pemerintah harusnya tak lagi bersifat top-down melainkan bottom-up. Namun sayang sekali, kebijakan kurikulum baru yang sedang digagas Kemdikbud jauh dari cita-cita tersebut. Metode uji publik kurikulum 2013 (29 November-23 Desember 2012) yang merupakan bagian dari proses pemberian public sphere, masih sebatas formalitas belaka. Alhasil, kebijakan masih saja bercirikan state centrist.
Hasil rapat Panja Kurikulum Komisi X DPR dengan Wamendikbud 19 Februari lalu mensyaratkan pihak Kemdikbud untuk melakukan penyempurnaan terkait dengan kurikulum yang diajukan, baik itu substansi maupun soal penganggaran yang diketahui membengkak dari semula Rp.684 miliar menjadi Rp.2,49 trilun.
Semoga, kali ini  pihak Kemdikbud melunak hatinya dan merespon aspirasi masyarakat sebagai hasil dikursus dalam public sphere yang telah disediakan. Selanjutnya, DPR dengan para legislatornya sebagai wadah politik formal yang mewakili 250 juta rakyat, mampu menjembatani kebijakan yang menyangkut nasib generasi bangsa ke depan.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial