Refleksi Kaum Muda




"Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia!!", 

Begitulah kira-kira ucapan heroik Soekarno, sang proklamator, untuk menegaskan betapa hebatnya kaum muda. Kalimat ini kiranya tak sekedar jargon atau pepesan kosong belaka. Sejarah telah membuktikan bahwa pemuda selalu memegang peranan penting dalam perubahan. Soekarno dan rekan-rekan seperjuangannya bahkan telah membuktikan, bahwa ditangan kaum mudalah, kemerdekaan bisa direbut.
Generasi 45 merupakan generasi emas republik ini. Merekalah yang memelopori transformasi bentuk perjuangan di nusantara, dari perlawanan fisik menjadi perlawanan intelektual. Pemuda yang saat itu mulai mengenyam pendidikan dapat mengkonversikan perbedaan dan ego kelompok menjadi persatuan. Sumpah pun diikrarkan, kesamaan dikedepankan, dan kemerdekaan menjadi hal yang tak bisa ditawar. Selanjutnya, “merdeka atau mati” dan “merdeka 100 persen” menjadi bara pengobar perlawanan di seantero nusantara.
Setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya, begitulah orang bijak pernah berkata. Generasi muda pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan  memang tidak bisa disamakan. Indonesia kini sudah merdeka (dari old imperialism), bangsa londo sudah hengkang dari nusantara dan secara defacto dan dejure Indonesia diakui oleh internasional sebagai sebuah negara merdeka. Namun perlu disadari, bahwa imperialisme belumlah berakhir, melainkan hanya berganti wujud (new imperialism).
Imperialisme gaya baru tak lagi mengandalkan fisik. Perkembangan teknologi membuat imperialisme pun bertransformasi. Imperialisme gaya baru tak segarang dulu, imperialisme pun bersolek dan cantik parasnya, mewujud dalam intervensi ekonomi, pengaruh budaya, serta bahasa. Media pun kemudian menjadi aktor utama untuk mensukseskan penjajahan gaya baru ini.
Intervensi ekonomi memang sangat berbahaya, namun sejatinya, generasi muda adalah sasaran utama dari soft imperialism ini. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa yang diharapkan bisa mengangkat derajat bangsanya dininabobokan dengan pengaruh budaya luar. Negara pun akhirnya gagal mencetak benih-benih unggul penerus bangsa. Pemuda hedonis, konsumtif, serta plagiat justru tumbuh subur, terutama di kota-kota besar dan secara perlahan mulai menjangkiti pemuda yang tinggal di pedesaan.
Permasalahan ini bukanlah baru mengemuka. Bung Karno bahkan sudah sejak lama mewaspadai masuknya pengaruh asing di kalangan anak muda, yang diperlihatkan dengan pelarangan musik ngak ngek ngok. Bukan soal anti asing, namun rupanya bangsa yang masih hijau dan belum memiliki fondasi karakter yang kuat sangat berbahaya bila menyerap mentah-mentah pengaruh asing. Kekuatiran Soekarno pun kini terbukti, pemuda Indonesia yang digadang-gadang sebagai harapan bangsa masuk dalam cengkeraman kultur asing, tak punya jati diri.
Tak heran bila dalam beberapa tahun belakangan segala macam bentuk pengaruh asing menjadi konsumsi pemuda-pemuda kita. Sebut saja fenomena girl band dan boy band yang bergaya Korea (K-Pop), joget ala “gangnam style”, maraknya peredaran drugs, free sex yang semakin merajalela dikalangan pemuda dan pelajar, aksi kekerasan, geng. Bagaimana Indonesia bisa optimis menatap masa depan bila generasi penerusnya adalah generasi yang miskin kualitas. Generasi hedonis, konsumtif, dan tanpa jati diri (karakter) yang kuat mustahil bisa meneruskan langgengnya republik ini.
Tak hanya permasalahan sosial-budaya yang menjangkiti kaum muda. Di ranah politik, kesempatan untuk merintis karir menjadi pemimpin masih tertutup. Karakter partai politik di Indonesia yang cenderung oligarki dan bersifat patron klien semakin menjauhkan generasi muda dalam kontestasi. Bahkan, setelah 67 tahun merdeka, bangsa ini masih kesulitan menghadirkan sosok pemimpin harapan rakyat. Menjelang pemilihan presiden tahun 2014 mendatang, calon pemimpin masih didominasi figur lama dan tua, seperti Prabowo Subianto (61), Megawati Soekarnoputri (65), serta Abu Rizal Bakrie (65). Bukankah ini sebuah degradasi, mengingat bangsa ini pernah mencatat, bahwa presiden pertamanya datang dari kaum muda (Soekarno, 44 tahun), pemimpin lainnya di awal kemerdekaan juga didominasi kaum muda, seperti M. Hatta (43), Syahrir (40), M. Natsir (42).
Kondisi yang memprihatinkan ini patut diberi perhatian serius. Fenomena ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Merenung juga bukanlah cara yang tepat karena sekarang adalah waktunya bergerak. Bila kondisi ini terus dibiarkan apalagi dipelihara, maka sulit rasanya menyaksikan Indonesia bertahan sampai 100 tahun ke depan.
Meski terkesan basi, namun pendidikan (kognitif dan afektif) memang merupakan jalan paling ampuh untuk menangkal budaya negatif. Nation and character building yang belum tuntas harus segera dituntaskan agar bangsa ini memiliki sikap, jati diri, dan watak yang akan menolongnya untuk tidak terombang-ambing dalam arus besar globalisasi.
Selanjutnya adalah soal kesempatan, tanpa hal itu maka dominasi kaum tua akan terus menghegemoni. Mobilitas vertikal kaum muda juga terancam stagnan. Sebagai orang tua sebaiknya bisa lebih bijaksana sebagaimana lazimnya orang tua. Beri jalan kepada generasi berikutnya, sebelum tahta direbut paksa.

*Dimuat pada Koran Harian Tangsel Pos, edisi 2 Nopember 2012

Comments

Popular posts from this blog

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial

Gerak Lambat Pendidikan