Indonesia dan Orde Goro-Goro

Belakangan marak demo menolak kenaikan harga BBM di seantero Indonesia. Serangkaian chaos-pun turut mewarnai gerakan mahasiswa untuk menolak kebijakan rezim penuh citra tapi miskin karya ini (SBY-Boediono). Argumen dari mereka yang pro dan kontra juga membawa justifikasinya masing-masing.
Sebelum merebaknya isu BBM, telah terungkap korupsi berjamaah yang dimotori oleh wakil dari partai penguasa (Partai Demokrat) yang sampai sekarang masih belum ada titik terang (penyelesaian). Perihal korupsi ini memang masih terus menghantui kehidupan berbangsa kita. Kaum kleptomania ini masih sulit untuk ditaklukan dan menyisakan pesimisme dalam benak rakyat.
Kemudian, bila kita tarik kebelakang, rezim saat ini juga selalu diwarnai aksi protes oleh kelompok-kelompok yang sudah tidak bisa lagi menahan diam atas kebijakan yang tidak pro rakyat. Lihat saja demo buruh yang menuntut kenaikan upah sampai memblokir akses tol dan pelabuhan. Masalah perburuhan juga menghinggapi saudara kita yang bekerja di Freeport dan bahkan mengakibatkan korban jiwa. Lebih jauh lagi buruh migran kita sering pulang dengan nyawa sudah melayang.
Selain konflik vertikal (rakyat-negara), wajah rezim pemerintahan saat ini juga dihiasi dengan konflik horizontal yang melibatkan warga vis a vis warga. Tengok saja aksi pembantaian di Mesuji, konflik Aceh yang masih menyisakan pergolakan, penolakan terhadap gereja Jasmine di Bogor, pelarangan terhadap Ahmadiyah, penolakan terhadap FPI di sejumlah kota di Indonesia.
Ini semua merupakan ironi “negara pancasila” yang mencita-citakan sebuah kedaulatan dan kesejahteraan bagi tiap-tiap warga negaranya. Di tengah naiknya pamor Indonesia sebagai negara yang layak investasi (investment grade) sebagaimana yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat kredit internasional, Fitch Ratings. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga cukup stabil di tengah badai krisis yang melanda Eropa, yaitu sekitar 6,5 % pada tahun lalu. Stabilitas politik juga masuk dalam kategori aman. Karena pemerintahan didukung oleh koalisi yang cukup besar, yaitu 75,36%.
Kondisi ini memang berbanding terbalik dengan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Justru saat ini sebenarnya adalah masa-masa di mana Indonesia mengalami dekadensi. 57 tahun medeka seakaan kita masih saja merangkak dan belum bisa menikmati kemerdekaan yang hakiki.
Masa orde lama adalah masa di mana pertarungan ideologi sangat kuat. Konflik elite lebih didasarkan pada upaya untuk menunjukkan ideologi mana yang paling bisa mewakili bangsa ini. Masa ini juga merupakan masa pembangunan sebuah bangsa dan negara. Masa membangun jiwa dan raga Indonesia yang oleh Soekarno disebut nation and character building. Wajar saja bila hiruk-pikuk politik begitu kentara pada masa itu. Pemberontakan dengan latar belakang “kekalahan politik” terjadi di beberapa wilayah dan terselesaikan pada masanya. Ekonomi Indonesia goncang karena negara selalu di rong-rong baik dari dalam maupun dari luar.
Masuk pada era orde Baru kehidupan bernegara reatif lebih aman dan stabil. Kepemimpinan yang didukung aparat (TNI/POLRI) menciptakan negara yang begitu kuat. Rakyat tidak boleh berbicara banyak. Apa yang diinginkan oleh Suharto menjadi sabdo pandito ratu, yang tidak boleh ditolak. Dengan support dana dari Amerika dan dibukannya kran penanaman modal asing secara besar-besaran membuat ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun fondasinya dibangun berdasarkan utang kepada pihak asing. Era orde baru adalah masa-masa Indonesia sempat dijuluki sebagai macan asia. Iklim investasi cukup kondusif di bawah panji rezim otoriter.
Krisis moneter dan kejatuhan Suharto pada 1998 membawa kita masuk pada zaman yang dinamakan reformasi. Reformasi membawa angin harapan yang begitu besar untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang demokratis dan benar-benar merdeka. Namun 14 tahun sudah kita hidup pada era reformasi tidak nampak adanya perubahan yang berdampak bagi kehidupan rakyat Indonesia. Reformasi hanya mampu mengubah apa yang disebut sebagai “konsep bernegara”. Yaitu upaya penegakan demokrasi, pemberantasan korupsi termasuk otonomi. Namun pada tataran praktik yang sifatnya lebih esensial, pemerintah total gagal. Bila ada tesis yang menyatakan bahwa seiring berjalannya waktu sesuatu itu akan mengalami perkembangan sebagaimana seorang bayi yang kemudian tumbuh menjadi dewasa, seperti yang juga telah digambarkan dalam teori evolusi, maka hal ini tidak berlaku bagi Inodnesia. Menurut penulis, justru masa ini adalah masa dekadensi bukan masa tumbuh kembang. Ini juga bukan orde reformasi, melainkan orde goro-goro.
Betapa tidak kita namakan masa ini sebagai orde goro-goro jikalau melihat praktik kehidupan bernegara yang jauh dari upaya menjalankan konstitusi sebagaimana mestinya. Semangat yang ada dalam UUD 1945 dan pancasila tidak bisa dikembangkan dalam praktik. Korupsi makin merajalela dari mulai pusat sampai daerah. Kebebasan semakin kebablasan. Dan tragisnya kita menjadi kuli di negeri sendiri. Alam dikuras, wilayah dicaplok dan ke-Indonesiaan kita semakin tergerus.
Menghadapi kondisi yang demikian, ada baiknya kita merenungkan kembali pesan bung Karno mengenai Jas Merah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah). Kita mesti sadar bahwa founding father kita dulu juga saling menanggalkan ego pribadi dan kelompoknya ketika sedang membahas dasar negara Indonesia. Kemudian semangatnya tersebut bersemayam dalam pancasila dan UUD kita. Itulah sikap kenegaraan dan kebangsaan pendahulu kita 57 tahun silam. Klise memang tapi hal inilah yang harus dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia.
Bila hal yang penulis tawarkan masih sulit, maka diiklim demokratis, pemilu adalah cara yang konstitusional untuk mengubah Indonesia. Tentunya dengan memilih pemimpin dan wakil kita yang benar-benar teruji track recordnya, bukan karena uang yang diberikannya. Dalam hal ini berarti kita harus memiliki prinsip dalam kehidupan politik.
Bila cara ini dianggap masih kurang, maka jalan terakhir dari semua ini adalah bergerak bersama menentang kesewenang-wenangan elite. Menghimpun kekuatan rakyat untuk “memaksa” mereka menghidupkan kembali semangat dasar negara, dan menjalankan cita-cita bernegara yang tertuang dalam UUD. Karena sebagaimana tertulis dalam Al-Quran surat Ar-Ra’d ayat 11: “Allah tidak akan merubah nasib seseorang, sebelum mereka mengubahnya sendiri”. Dalam konteks Indonesia maka, negeri ini tidak akan berubah sebelum seluruh rakyatnya turun tangan untuk membuat perubahan itu.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial