Menanti Kesatria dari Langit

Menyambut pemilu presiden (Pilpres) 2014 partai politik (Parpol) sudah mulai bersiap guna melakoni “pertarungan” merebut hati masyarakat. Nama-nama figur yang kemungkinan bakal diusung oleh partai-partai pun mulai eksis di media massa, seperti Prabowo (Partai Gerindra), Abu Rizal Bakrie (Partai Golkar), dan Surya Paloh (Partai Nasdem). Namun beberapa partai seperti Partai Demokrat, PDIP, PKS, dan PAN masih belum memunculkan tokoh-tokoh yang akan diusungnya pada Pilpres 2014 nanti.

Menuju Pilpres 2014, waktu untuk mempersiapkan diri bagi partai-partai politik memang terbilang singkat. Mereka praktis hanya menyisakan kurang dari 2 tahun untuk melakukan konsolidasi guna menyiapkan calon dan strategi pemenangan Pilpres 2014 nanti. Salah strategi dan salah dalam memilih figur untuk diusung menjadi presiden akan berakibat fatal dalam upaya memenangi pemilu 2014.

Ketika Parpol sibuk mempersiapkan diri, lantas bagaimana dengan rakyat yang merupakan konstituen dari partai-partai tersebut. Apakah banyak pilihan bagi rakyat untuk memilih kandidat yang bakal memimpin republik ini? Mengingat beberapa kali Pilpres rakyat selalu disuguhkan figur pemimpin yang tidak cakap menahkodai negara ini.

Dari tangan MPR langsung ke tangan rakyat

Semenjak amandemen ke-4 UUD 1945 tahun 2002, Pilpres di Indonesia dilaksanakan secara langsung. Presiden yang sebelumnya dipilih oleh MPR kini dengan adanya amandemen tersebut maka presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Pilpres langsung pada prinsipnya ingin mengakomodir aspirasi rakyat dan memberikan kebebasan kepada rakyat dalam memilih calon pemimpinnya. Karena sebelum adanya amandemen ke-4 UUD 1945, presiden dipilih oleh MPR dan seringkali berseberangan dengan keinginan mayoritas rakyat. Terbukti pada pemilu 1999 PDIP memenangkan pemilu dengan suara sekitar 35%, namun calon presidennya, Megawati yang digadang-gadang oleh pendukungnya bisa menjadi presiden kalah oleh Poros Tengah di MPR.

Era pemilu langsung sejatinya bisa menghindari kesan bahwa pemimpin yang terpilih adalah pilihan partai atau elit. Pemilu langsung merupakan representasi dari suara rakyat. Rakyatlah yang akan menentukan langsung pimpinan yang dianggapnya layak dan hanya kekuatan rakyatlah yang bisa mencabut mandatnya kepada presiden. Dengan sistem ini pula diharapkan rakyat mendapatkan pemimpin yang benar-benar berpihak kepada mereka.

Memilih yang baik dari yang buruk

Dua kali sudah pemilu langsung dilaksanakan di Indonesia, namun ternyata belum ada pemimpin yang bisa mengakomodir kepentingan rakyat. Presiden terpilih masih belum bisa membawa negara dan rakyatnya ke arah sejahtera.

Tahun 2004 KPU menetapkan 5 kandidat presiden, yaitu: Hamzah Haz-Agum Gumelar, Megawati-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan Wiranto-Salahuddin Wahid. Pilpres tersebut dimenangkan oleh pasangan SBY-JK. Pada tahun 2009 Pilpres langsung diikuti oleh 3 pasangan, yaitu: Jusuf Kalla-Wiranto,Megawati-Prabowo, dan SBY-Boediono. Pilpres ini melahirkan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang.

Dari nama-nama kandidat presiden dalam 2 periode pemilu langsung tersebut, nampak bahwa rakyat pada dasarnya tidak memiliki banyak pilihan. Bila sebelum era pemilu langsung rakyat tidak memiliki self power untuk memilih siapa presidennya, maka dalam pemilu langsung rakyat dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit di mana kandidat adalah muka lama dan terbukti gagal dalam membawa perbaikan untuk bangsa. Dengan kata lain rakyat dipaksa memilih kandidat-kandidat yang sudah “cacat”.

Gagalnya fungsi kaderisasi partai politik

Partai politik sebagai tempat “karantina” calon pemimpin bangsa harusnya bisa berperan dalam menciptakan kader-kader yang berkualitas guna ditempatkan pada jabatan-jabatan politis termasuk untuk memimpin bangsa ini. Karena dalam hidup bernegara partai politik merupakan kendaraan yang sah, demokratis dan konstitusional untuk digunakan dalam menggapai power guna kesejahteraan tiap-tiap warga negara yang hidup di bawah payung NKRI.

Namun belakangan ini partai politik sepertinya kurang percaya diri dan tidak mampu dalam melakukan kaderisasi. Hal ini tercermin dari maraknya kader-kader instan dari kalangan artis yang dicalonkan oleh parpol untuk menjadi anggota dewan maupun wakil kepala daerah. Dalam pemilihan legislatif tahun 2009, KPU mencatat ada 16 anggota DPR RI dari kalangan artis. Sedangkan sisanya sukses menjadi figur “penarik massa” dalam Pilkada daerah seperti Dede Jusuf dan Rano Karno. Aspek popularitas sepertinya telah mereduksi pemahaman ideologi partai dan “kematangan” politik dari kader partai. Apabila hal ini terus berlanjut maka bisa dipastikan partai akan kehabisan kader berkualitas dan tentunya akan mati ditinggalkan oleh konstituennya.

Pemuda rendah diri vs Orang tua tak tau diri

Selain pragmatisme parpol dalam melakukan kaderisasi, masalah “miskinnya” calon pemimpin di masa mendatang juga lantaran pemuda-pemuda kita tidak cukup berani untuk unjuk gigi. Budaya patron klien, menghormati yang lebih tua atau senior membuat anak muda sulit tampil dan cenderung “mengekor” kepada kaum tua.

Kondisi ini kemudian diperparah karena “si tua” juga tidak mau memberikan jalan kepada yang lebih muda untuk bisa menunjukkan kualitasnya. Mereka kaum tua (baca: yang sudah gagal) masih ngotot dan berambisi untuk menawarkan dirinya memimpin negeri ini meskipun mereka tahu rakyat sudah menolaknya. Kaum tua sepertinya tidak cukup legowo hanya duduk dan menjadi saksi penciptaan sejarah.

Permasalahan ini kemudian semakin menciptakan krisis kepemimpinan nasional. Di mana politisi “gaek dan cacat” masih saja tampil. Selanjutnya beberapa partai bahkan kehilangan figur. Sebut saja PKB yang selepas kepergian Gus Dur mengalami perpecahan dan praktis tak punya lagi figur. PAN yang sepeninggal Amien Rais bagai anak ayam kehilangan induk. PKS yang sampai saat ini masih belum memiliki figur. Partai Demokrat yang sulit mencari figur selain SBY.

Hal ini tidak bisa dipungkiri merupakan buah dari gagalnya rekruitmen politik dari parpol dan tentunya juga karena pemuda yang rendah diri serta egoisme kaum tua. Bila keadannya sudah demikian pada siapa lagi kita akan mempercayakan negeri ini. Akankah kita tunggu saja sambil berdoa mengharap datangnya kesatria dari langit atau secepatnya kita semua berbenah demi tanah damai Indonesia?

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial