"QUO VADIS" PENDIDIKAN NASIONAL


Sebagai jalan yang paling ampuh untuk mencapai tujan negara adalah melalui pendidikan
(Fukuzawa Yukichi)


Perkataan yang dikemukakan oleh pendiri Universitas Keio di Jepang yang juga pelopor modernisasi pendidikan di Jepang ini begitu menarik perhatian saya. Secara eksplisit, Yukichi menegaskan bahwa pendidikan merupakan kunci tercapainya cita-cita suatu bangsa atau negara. Dan mungkin ini jugalah yang kemudian membuat sumber daya manusia (SDM) Jepang mampu bersaing dengan para ilmuwan dari negara Barat dan Timur dan membawa Jepang menjadi negara paling maju di Benua Asia.
Perkataan Yukichi ini memang terbukti kebenarannya. Hal ini bisa kita lihat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia. Sebagian besar kesadaran untuk mencapai kemerdekaan diperjuangkan oleh kaum terpelajar, seperti yang terjadi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Di Indonesia kesadaran akan persatuan dan kemerdekaan muncul dari kaum terpelajar Indonesia dari mulai generasi Cipto Mangunkusumo sampai pada generasi Soekarno. Tokoh pendidikan Indonesia, seperti Ki Hajar Dewantara pun ikut merumuskan betapa pentingnya pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang berguna untuk memajukan bangsa.
Ki Hajar Dewantara melihat pendidikan tidak hanya sebatas pada upaya untuk meningkatkan kemampuan intelektual belaka. Menurutnya, pendidikan harus bersifat humanis dan menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Gagasannya tersebut kemudian direalisasikan dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta. Dalam Taman Siswa Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga hal yang harus dilakukan oleh seorang guru. Tiga pedoman tersebut, kemudian dikenal dengan slogan:
  • Ing Ngarso Sung Tulodo
  • Ing Madya Mangun Karso
  • Tut Wuri Handayani
Di sini kita melihat bahwa konsep pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara bukanlah pendidikan hasil copy paste dari Barat atau negara maju lainnya. Pendidikan untuk rakyat Indonesia diupayakan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Dan semenjak tahun 1920-an tersebut para pejuang pergerakan nasional sudah semakin sadar mengenai pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa. Dan dengan adanya upaya-upaya untuk mencerdasakan rakyat ini kemudian berbuah manis dengan semakin kritisnya rakyat dan terus berjuang untuk bersatu menuju pintu gerbang kemerdekaan Indonesia
Pasca kemerdekaan, upaya untuk memajukan pendidikan guna menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas terus dilakukan. Hal ini antara lain termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4:…mencerdaskan kehidupan bangsa….dan pada BAB XA pasal 28 C serta pada BAB XIII pasal 31 UUD 1945. Kemudian mengingat pentingnya pendidikan bagi rakyat Indonesia, maka bung Karno kemudian mengeluarkan Surat Keputusan mengenai Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Hal ini dilakukan guna mendapatkan tenaga pendidik yang berkualitas sebagai salah satu upaya mencerdaskan bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Bung Karno dengan semangat mencerdaskan bangsa mencoba unuk memberikan perhatian yang besar pada pendidikan meskipun kondisi ekonomi sedang sulit pada masa itu. Pembangunan universitas negeri ditiap propinsi menjadi agenda yang wajib bagi pemerintah. Selanjutnya, pemerintah juga menyiapkan dosen yang berkualitas dan tak lupa kesejahteraan tenaga pendidik tersebut turut diperhatikan. Pembangunan perpustakaan dan asrama mahasiswa yang berguna untuk menunjang belajar-mengajar juga tak lupa disiapkan (Soedijarto, 2009).
Kecintaann Bung Karno pada dunia pendidikan juga diaplikasikan dalam kesehariannya di mana Soekarno muda banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku dan menuliskan ide-idenya mengenai konsep Indonesia merdeka. Selanjutnya, Bung Karno juga memandang bahwa pendidikan tidak hanya terbatas pada kaum Adam saja, dan menjadikan perempuan “kelas dua” yang akhirnya menyebabkan diskriminasi dalam memperoleh pendidikan. Menurut Soekarno, yang membedakan antara perempuan dan laki-laki hanyalah kesempatan untuk mengembangkan diri (Kurniawan, 2009).
Memasuki Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, pendidikan di Indonesia hanya dijadikan sebagai alat untuk brainwash ketimbang memantapkan konsep pendidikan yang telah disusun pada pemerintahan sebelumnya. Pada masa Orba pendidikan dijadikan sebagai salah satu cara untuk melakukan sebuah upaya yang disebut desoekarnoisasi. Pengaruh Soekarno yang begitu besar pada rakyat Indonesia coba dikikis habis dengan sistem pendidikan ala Orba. Pemahaman mengenai sejarah dibelokkan dan para siswa dijejali dengan kebohongan-kebohongan sejarah guna menjamin kelanggengan kekuasaan Orba.
Pancasila yang dijadikan sebagai landasan pendidikan nasional hanyalah topeng Orde Baru. P4 yang menjadi slogan pada masa itu tak lain hanyalah sebagai upaya untuk membelenggu kebebasan berpikir masyarakat. Sehingga mempelajari ilmu sosial yang berbau Marxis dan Marhaenisme ala Bung Karno dianggap komunis dan bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. Materi pembelajaran dibatasi pada hal-hal yang hanya disukai oleh penguasa. Sehingga pendidikan nasional tidak berkembang dan Indonesia kalah tertinggal dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Memasuki era reformasi ternyata pendidikan di Indonesia tidaklah jauh berbeda dan bahkan semakin memprihatinkan. Berbagai kebijakan termasuk yang berkaitan dengan dunia pendidikan mengikuti arus neo-liberalisme. Pendidikan dijadikan suatu komoditas dan diswastanisasi oleh pemerintah dengan berbagai dalih. Otonomi kampus ataupun sekolah dianggap sebagai cara terbaik untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kemudian untuk memuluskan upaya tersebut dirubahlah status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), selanjutnya diperparah lagi dengan keluarnya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang mengatur mengenai masalah “penyapihan” institusi pendidikan.
Kondisi ini tentunya membuat pendidikan menjadi barang mewah yang hanya dirasakan oleh sekelompok golongan saja. Padahal pendidikan sebagaimana digariskan oleh undang-undang adalah unuk seluruh rakyat Indonesia dalam upaya pencerdasan bangsa. Upaya untuk menyisihkan anggaran 20% untuk pendidikan saja sangat berat kini pemerintah ingin coba-coba lari dari tanggung jawab yang sudah diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya, kurikulum yang dipakai dalam pendidikan di Indonesia juga jauh dari cita-cita founding fathers kita. Peserta didik hanya didorong untuk meningkatkan kemampuan intelektual belaka tanpa mempertimbangkan daya cipta, rasa dan karsa sebagaimana yang telah ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantara. Sehingga peserta didik lebih egois terhadap prestasinya sendiri dan Tri Dharma Perguruan Tinggi hanya sebatas pada poin mahasiswa sebagai insan akademis sedang slogan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, serta Tut Wuri Handayani hanya sebatas jargon yang jauh dari cita-cita awal.
Hal ini yang kemudian menimbulkan pro-kontra di masyarakat terkait dengan pelaksanaan Ujian Akhir Nasional sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan. Sebagian kalangan menganggap bahwa potensi akademik bukanlah salah satunya parameter yang harus digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pendidikan. Dan pemerintah dituntut untuk mempersiapkan segala yang dibutuhkan guna menguji kemampuan siswa/i sebelum menghukum mereka dengan stempel tidak lulus.
Persiapan yang perlu dilakukan antara lain adalah sarana dan prasarana belajar mengajar di sekolah, baik itu gedung, buku-buku, maupun tenaga pendidik yang berkualitas. Bila memang semuanya dirasakan sudah siap di setiap daerah di Indonesia barulah keberadaan Ujian Nasional dapat dilakukan. Namun sekali lagi janganlah tes potensi akademik yang hanya menggunakan beberapa mata pelajaran sebagai alat ukur dijadikan sebagai penentu berhasil atau tidaknya suatu pendidikan. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa aspek psikologis dan sisi humanis dari pendidikan patut dipertimbangkan.
Selanjutnya terkait dengan upaya dari pemerintah dalam hal “penghargaan” kepada peserta didik yang berprestasi baik di dalam maupun di luar negeri harus dilakukan. Mengingat begitu banyaknya para pelajar dan mahasiswa yang berprestasi sampai pada level internasional tetapi tidak mendapatkan tempat di Indonesia. Sehingga merekapun akhirnya memilih tinggal di luar negeri yang dianggap lebih menghargai kemampuan ataupun kreatifitas mereka ketimbang pemerintah Indonesia.
Sudah hampir 65 tahun kita merdeka tetapi sangat ironis karena kita tidak mampu mengelola sumber daya Indonesia. Coba bayangkan berapa ribu sarjana yang lulus dari kampus-kampus ternama tiap tahunnya, tapi kemana mereka. Di sinilah peran pemerinah untuk memfasiliasi mereka dan memberikan kepercayaan kepada putra-putri terbaik bangsa untuk memajukan Indonesia. Negara Indonesia yang kini sudah hampir 65 tahun merdeka dan berada di era hi-tech harusnya bisa mendidik 200 juta lebih penduduk Indonesia untuk setidaknya memerdekakan Indonesia 100% agar menjadi tuan di negerinya sendiri dan bukan bangsa kuli seperti sekarang ini.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa begitu pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa. Karena bangsa yang tidak terdidik cenderung untuk menjadi bangsa yang bodoh dan bangsa yang bodoh sangat dekat dengan kemiskinan. Dan saya berharap itu bukan Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial