Pendidikan Informal dan Kenakalan Anak


Kecelakaan maut di tol Jagorawi yang melibatkan putra bungsu Ahmad Dhani pada Minggu (8/9/2013) dini hari menyisakan duka yang mendalam sekaligus pelajaran berharga bagi para orang tua dalam memberikan edukasi kepada anaknya. Dul begitu sapaan akrabnya, dikabarkan kehilangan kendali sewaktu mengendarai mobil sedan dengan kecepatan tinggi dan menyebabkan tabrakan maut.
Berbagai argumen pun mengemuka, terutama mempertanyakan bagaimana anak usia 13 tahun diijinkan mengemudikan mobil dan berada di luar rumah hingga larut malam. Meskipun Ahmad Dhani menyatakan bahwa kecelakaan yang melibatkan anaknya menjadi tanggung jawab bersama antara negara dan orang tua, tapi tetap saja kontrol orang tua terhadap anak yang masih di bawah umur (kurang dari 18 tahun) memegang peranan penting.
Pendidikan keluarga dan lingkungan menjadi faktor dominan dalam membangun karakter anak. Sebab, pertama kali seorang anak mengenal dunia adalah melalui orang tuanya dan akan terus mendapatkan pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Setelah itu, baru pendidikan formal dan non-formal berperan dalam memberikan pendidikan yang sifatnya terbatas dan lebih kepada aspek legalitas (ijazah/ sertifikat).
Jalur pendidikan yang kita ketahui sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah pendidikan formal, non-formal, dan informal. Meskipun ada tiga kelompok pendidikan, perhatian pemerintah dan masyarakat dalam setiap kebijakan dan diskusi mengenai pendidikan selalu berkutat seputar pembenahan pendidikan di sektor formal dan non-formal.
Hal ini menjadi wajar, mengingat pendidikan informal merupakan ranah keluarga dan porsi terbesar diberikan kepada pihak orang tua murid. Sedangkan untuk pendidikan formal dan non-formal porsi terbesar diberikan kepada negara. Maka dari itu, aturan mengenai tiga jenis pendidikan inipun lebih dititik beratkan pada pendidikan formal dan non-formal sebagaimana yang ada dalam UU tentang Sisdiknas.
Padahal, karakter seorang anak tidak hanya dibentuk oleh sekolah yang memberikan pelajaran hanya beberapa jam saja dengan metode interaksi belajar mengajar yang terstruktur. Pendidikan lebih banyak berlangsung secara informal, oleh keluarga dan lingkungan, berlangsung sepanjang hayat dan melibatkan pengalaman sehari-hari (Soelaiman Joesoef dkk,1981).
Dalam hal ini pendidikan informal sejatinya memegang peranan penting dalam menentukan tumbuh kembangnya seorang anak. Perilaku anak akan mengikuti bagaimana pola pendidikan orang tua dan norma yang berlaku di lingkungannya. Maka dapat dibenarkan, bila ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa kasus Dul merupakan bentuk kelalaian orang tua.
Apa yang terjadi pada Dul, sejatinya masuk dalam kategori kenakalan anak (juvenile delinquency). Menurut Berger (2000), juvenile delinquency merupakan satu bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh individu yang berusia di bawah 18 tahun. Kenakalan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor keluarga dan lingkungan di mana anak tersebut bergaul dalam keseharian.
Kemampuan ayahnya, memberikan fasilitas berupa mobil beserta supirnya, tentu menempatkan Dul pada status sosial di atas rata-rata dibandingkan anak seumurannya. Tinggal di bawah asuhan ayahnya yang super sibuk membuat kita mafhum bila kontrol dari orang tua menjadi kurang terhadap setiap tingkah laku anak sehari-hari. Akhirnya, kebebasan menjadi sesuatu yang berbahaya bagi seorang anak yang belum dewasa, baik secara umur maupun mental.
Mengutip Jessor (1977) dalam Problem Behavior Theory, perilaku menyimpang remaja dipengaruhi oleh tiga aspek, yakni: kepribadian (nilai-nilai, harapan), sistem lingkungan (keluarga dan teman sebaya), sistem perilaku atau cara yang dipilih oleh remaja dalam berperilaku sehari-hari.
Ketiga aspek ini, sebagaimana penulis uraikan di atas, lahir dari pendidikan informal yang dibangun dari keluarga dan lingkungan di luarnya. Artinya, influence keluarga dan lingkungan di mana seorang anak bersosialisasi begitu dahsyat dalam membentuk perilaku seseorang.
Oleh karenanya, penulis sepakat dengan pendapat Ahmad Dhani yang menyatakan bahwa kecelakaan maut yang melibatkan Dul adalah tanggung jawab semua pihak, termasuk negara. Namun, hal ini bukan hanya soal ketertiban berlalu-lintas, tapi lebih kepada bagaimana orang tua dan masyarakat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembangnya perilaku yang positif bagi anak. Kita jangan hanya terpaku pada pendidikan formal dan non-formal yang sarat dengan kepentingan, karena disana ada unsur uang dan politik tapi malah melupakan pendidikan informal yang notabenenya memberikan fondasi bagi generasi penerus kita. Dul hanyalah satu dari sekian banyak anak yang menjadi korban dari kegagalan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga. Semoga, tragedi ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial