Stop Dana Abadi Pendidikan
Pada tahun ini, pemerintah akan mencairkan bunga dari
dana abadi pendidikan (DAP) yang konon mencapai Rp.700 miliar. Langkah ini
perlu mendapatkan perhatian yang serius karena memang sejak awal keberadaan
dana ini penuh kejanggalan. Tak hanya soal aturan, tapi motif dibalik eksisnya
DAP selama 3 tahun belakangan juga penuh misteri.
Meski pemanfaatannya untuk pendidikan yang menjadi
kewenangan dan tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),
namun, DAP yang dalam UU APBN bernama Dana Pengembangan Pendidikan Nasional
(DPPN) diprakarsai oleh mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani (Kompas,8/3/2010).
Setelah mewacanakan DAP pada Maret 2010, Sri Mulyani
kemudian memasukan DAP dalam UU No.2
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No.47 Tahun 2009 tentang APBN tahun 2010. UU APBN ini
kemudian diikuti dengan penerbitan Permenkeu No. 238/PMK.05/2010 tentang Tata
Cara Penyediaan, Pencairan, Pengelolaan, dan Pertanggungjawaban Endowment
Fund dan Dana Cadangan Pendidikan pada Desember 2010.
Berbeda dengan dana abadi umat
(DAU) yang dihimpun dari masyarakat melalui efisiensi penyelenggaraan haji, DAP
diambil langsung dari 20% anggaran pendidikan. Besarannya berkisar antara 1
sampai 2 persen tiap tahun. Dalam APBN 2013, DAP dialokasikan sebesar Rp.5
triliun. Sehingga total DAP saat ini mencapai Rp.15,6 triliun (akumulasi sejak
2010).
Jumlah ini sangat besar,
bahkan melebihi total anggaran di kementerian/ lembaga negara. Sebut saja
anggaran di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang hanya Rp.2 triliun
pada tahun 2013, Kementerian Pemuda dan Olahraga Rp.1,9 triliun, serta
Perpustakaan Nasional yang hanya Rp.478 miliar.
Kehadiran DAP ini sejatinya
tidak istimewa, kecuali dari besarnya anggaran yang dialokasikan. Dana ini juga
tidak terkonsep dengan baik. Menurut UU No.19 tahun 2012, dana abadi pendidikan
(endowment fund) digunakan untuk menjamin keberlangsungan program
pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban
antargenerasi. Hal ini diwujudkan antara lain dengan mengalokasikan dana
tersebut untuk beasiswa dan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang rusak akibat
bencana alam. Mendikbud sendiri menyatakan DAP akan dialokasikan khusus untuk
beasiswa S2 dan S3 non-PNS dan non-dosen, penelitian yang berbasis energi dan
pangan, serta rehabilitasi fasilitas pendidikan akibat bencana.
Fungsi anggaran, dari mulai
beasiswa, penelitian, sampai rehabilitasi sejatinya telah dialokasikan dalam
anggaran reguler di luar DAP. Jika DAP digunakan untuk membiayai hal yang sama,
maka untuk apa ada DAP. Kemudian, niat Kemendikbud untuk memanfaatkan DAP guna
beasiswa S2 dan S3 non-dosen dan non-PNS jelas tidak sesuai dengan renstra
Kemendikbud 2010-2014 yang justru ingin meningkatkan presentase pendidikan
dosen berkualifikasi S2 dan S3. Dalam renstra tersebut, Kemendikbud menargetkan
peningkatan dosen yang berkualifikasi S2 sampai 85% dan dosen berkualifikasi S3
90 persen.
Selain itu, beasiswa yang
hanya difokuskan bagi S2 dan S3 juga tidak linear dengan upaya peningkatan APK
SMA/SMK (wajib belajar 12 tahun). Karena ketika APK meningkat otomatis calon S1
juga meningkat yang kemudian membutuhkan pendanaan pendidikan untuk jenjang
sarjana.
Kemudian, DAP yang dalam UU
APBN disebutkan sebagai bentuk pertanggung jawaban antar generasi memberikan
kesan bahwa suatu saat nanti kita akan kekurangan dan kehabisan uang untuk
membiayai pendidikan. Pandangan ini memang dibantah oleh Sri Mulyani yang
menegaskan bahwa kehadiran DAP bukan soal kekurangan dana tapi bagaimana
membelanjakan anggaran dengan benar (daya serap) (Kontan,13/3/2010).
Hal ini mengindikasikan bahwa
Sri Mulyani, selaku Menkeu waktu itu tidak percaya kepada Kemendikbud dalam
pengelolaan anggaran pendidikan. Maka wajar bila kemudian anggaran pendidikan
20% dari APBN dicabik-cabik. Dari mulai dibagi ke-18 kementerian/ lembaga,
transfer ke daerah, alokasi khusus, hingga penyediaan pos bagi DAP. Dengan kata
lain, DAP dijadikan jalan untuk memenuhi kuota 20% anggaran pendidikan,
sekaligus untuk mengatasi daya serap yang rendah atas anggaran yang besar
tersebut.
Lebih lanjut, pengelolaan DAP
oleh Badan Layanan Umum (BLU) merupakan kebijakan yang salah kaprah. Karena konsep
BLU sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 poin (1) dan (2) PP No.23 tahun 2005
adalah sebagai penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual (menerapkan
praktek-praktek bisnis yang sehat). Sedangkan, DAP adalah dana yang
didepositokan, dan pendapatannya hanya berupa bunga. Dengan kata lain, DAP
bukanlah modal segar (fresh capital)
yang kelak dipakai untuk berbisnis.
Ironisnya, Mendikbud, sebagai menteri yang terkait dengan
pendidikan dan yang akan memanfaatkan DAP tidak menguasai dana tersebut. Karena,
berdasarkan Ps.2 ayat (2) Permenkeu No. 238/PMK.05/2010, pengguna anggaran DAP adalah Menkeu bukan
Mendikbud. Anggaran ini semakin liar, lantaran Komisi X sebagai mitra
Kemendikbud tidak bisa mengawasi penggunaan anggaran tersebut. Sebab anggaran
ini dibawah cengkeraman Menkeu dan sepenuhnya di bawah pengawasan
departemennya.
Pembentukan BLU yang baru dilakukan
pada tahun 2012 dan pencairan yang akan dilakukan pada tahun ini juga patut
dipertanyakan. Pasalnya, DAP sudah dianggarkan sejak tahun 2010. Hal ini memicu
kecurigaan akan besarnya kemungkinan penyelewengan DAP untuk kepentingan politik
2014. Apalagi dana abadi terbukti rentan terhadap korupsi. Seperti korupsi DAU
yang menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al-Munawar. Selain itu, DAP
di Aceh juga diduga dikorupsi, karena berdasarkan hasil temuan LSM, saldo DAP
Aceh sudah kosong.
Pada akhirnya, anggota DPR yang
memiliki hak budget mesti bertindak.
Bagaimanapun kesalahan tidak bisa ditujukan sepenuhnya kepada pemerintah,
mengingat UU APBN terlahir dari ketuk palu rapat paripurna di DPR RI. Peluang
masih ada, lantaran basis aturan DAP adalah APBN, maka APBN-P 2013 adalah pintu
masuk atas komitmen wakil rakyat. Namun, semuanya akan kembali pada sebuah
proses politik. Akankah suara terbanyak diberikan kepada pemerintah (lanjutkan)
atau sebaliknya (stop DAP)?
(Kompas Cetak, 18 Februari 2013)
Comments