Kurikulum dan Pendidikan Karakter


Wacana mengenai perubahan kurikulum pendidikan di tingkat SD sampai SMA terus digulirkan oleh pemerintah. M. Nuh selaku menteri pendidikan, dalam beberapa kesempatan menilai kalau kurikulum yang saat ini digunakan, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) perlu direvitalisasi sehingga sesuai dengan perkembangan zaman (Kompas, 05/09/12).
Bahkan, mantan rektor ITS tersebut menduga kalau ketidaksesuaian kurikulum yang saat ini diterapkan telah menyebabkan pembangunan karakter bangsa masih jauh dari harapan. Sehingga, jajaran Kemendikbud merasa perlu mengevaluasi kembali kurikulum yang digunakan semenjak tahun 2006 tersebut. Pihak Kemendikbud pun sudah merencanakan penggantian KTSP secepatnya pada tahun 2013 mendatang. Bahkan, DPR telah menyiapkan Panitia Kerja (Panja) untuk membahas mengenai kurikulum tersebut tahun ini.
Masalah kurikulum sendiri dalam sistem pendidikan kita memang masih menyisakan polemik hingga kini. Kurikulum selalu berubah dan masih belum membawa progress yang signifikan bagi perkembangan pendidikan nasional. KTSP sebagai pedoman pembelajaran dalam pendidkan nasional kita, lahir sebagai amanat dari Undang-Undang (UU) No. 23/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). KTSP merupakan wujud dari menguatnya otonomi sekolah (desentralisasi pendidikan) yang memangkas peranan pusat, yakni soal pengembangan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa di sekolah.
Dalam praktiknya, KTSP memang tidak sepenuhnya gagal. Selama menerapkan kurikulum tersebut, pemerintah telah berhasil menekan jumlah siswa yang tidak lulus Ujian Nasional (UN), antara lain di level SMA, dari semula di tahun 2011, siswa yang tidak lulus UN sebesar 0,78% menjadi hanya 0,50% di tahun 2012. Namun, keberhasilan tersebut lebih bersifat kuantitatif  ketimbang aspek kualitatif yang menyangkut sisi afektif (karakter) dari peserta didik. Padahal, amanat UU menggariskan, bahwa pendidikan nasional tak hanya soal pencerdasan tapi juga pembentukan watak  dan peradaban bangsa (nation & character building).
Kegagalan menyeimbangkan antara aspek kognitif dan afektif ini terlihat dari masih maraknya kekerasan yang dilakukan oleh peserta didik, dari mulai tawuran sampai bullying. Tak hanya itu, guru sebagai mentor juga kerap melakukan tindakan kekerasan terhadap murid di sekolah. Bahkan, KPAI mencatat, sebanyak 87%  aksi kekerasan, terjadi di lingkungan sekolah.
Maka menjadi lumrah, bila kemudian, pihak Kemendikbud merasa perlu melakukan evaluasi. Apalagi, UU memberikan ruang bagi dilakukannya perubahan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah memang benar bahwa kegagalan pembangunan karakter karena tidak sesuainya kurikulum yang diterapkan saat ini?
Dalam KTSP, sejatinya sekolah memiliki ruang yang cukup luas untuk mengembangkan kurikulum dan metode pembelajarannya. Hanya saja, upaya untuk menguatkan pendidikan karakter (character education) menjadi hal yang tidak populis. Karena, pendidikan atau pembangunan karakter peserta didik tidak memiliki Key Performance Indicator (KPI) yang jelas. Alhasil, upaya pembangunan karakter menjadi kalah populer ketimbang peningkatan terhadap kemampuan siswa dalam menghadapi UN (aspek kognitif), yang sampai sekarang masih menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan di Indonesia. Implikasinya, pembangunan karakter tidak terlalu diprioritaskan dalam pembelajaran di sekolah.
Kondisi ini semakin diperparah dengan minimnya kompetensi pedagogik para pendidik dalam menanamkan character building kepada anak muridnya. Bahkan tak jarang, guru yang seharusnya bisa menjadi role model bagi para siswa justru bertindak amoral.
Upaya membangun karakter peserta didik memang bukan perkara mudah. Pembentukan karakter tak hanya soal melakukan indoktrinasi, tetapi juga bagaimana mencontohkan dan membiasakan dalam praktik sehari-hari, paling tidak dalam lingkup sekolah. Dan saat ini, pendidikan karakter di sekolah-sekolah masih sebatas pada pengenalan nilai dan norma saja tapi minim praktik. Celakanya, guru yang menjadi tulang punggung pembentukan karakter siswa di sekolah, bukannya ditingkatkan pemahamannya soal pembangunan karakter, justru malah “dipaksa” untuk lebih meningkatkan aspek keilmuan dan kognitifnya saja, seperti yang belakangan dilakukan oleh pemerintah melalui Uji Kompetensi Guru (UKG). Menurut penulis, hal ini merupakan sebuah kesalahan yang berulang dari kebijakan pemerintah.
Menyikapi hal ini, maka penulis merasa bahwa pemerintah perlu menelurkan kebijakan-kebijakan yang linear dengan aturan perundangan yang sudah ada. Sehingga tercipta sinergi antara aturan, implementasi, dan goal dari kebijakan yang dibuat. Selanjutnya, DPR sebagai mitra kerja pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, harus bisa menjalankan fungsi pengawasannya terhadap pelaksanaan aturan perundangan yang sudah dibuat.
Kemudian, dalam rangka membangun sebuah karakter, memang diperlukan suatu rumusan khusus yang mengatur mengenai materi pendidikan karakter itu sendiri. Karena karakter tak hanya menyangkut moralitas sebagai individu tetapi juga soal karakter bangsa secara keseluruhan yang berpedoman pada pancasila dan UUD 1945.



Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial