Keterkaitan antara Kemiskinan dengan Perubahan Perilaku

Kemiskinan merupakan masalah klasik yang menghantui setiap manusia dan selalu menjadi masalah bagi manusia itu sendiri. Kemiskinan dipandang sebagai bagian dari masalah pembangunan, yang keberadaannya ditandai oleh adanya pengangguran, keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan.[i]
Kemiskinan kemudian dianggap sebagai momok yang menakutkan bagi kaum mapan dan merupakan sebuah realita pahit tentunya bagi orang-orang yang hidup dalam lingkar kemiskinan. Kondisi ini yang kemudian menyebabkan seseorang berusaha untuk sebisa mungkin menghindari kemiskinan dan keluar dari belenggu kemiskinan.
Kenyataan itu selanjutnya menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu baik itu positif maupun negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Perilaku tersebut dipaksa muncul karena adanya anggapan bahwa hal tersebut merupakan jalan keluar untuk menghadapi kemiskinan tersebut.
Perilaku positif yang dilakukan oleh mereka yang takut akan kemiskinan dan menderita akibat kemiskinan yaitu dengan menempatkan pendidikan sebagai jalan untuk mempertahankan kehidupannya agar tidak jatuh ke dalam lembah kemiskinan dan menggunakan pendidikan tersebut untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Selanjutnya cara positif lainnya yang bisa ditempuh untuk menghadapi kemiskinan yaitu dengan jalan peningkatan etos kerja dan kreasi dalam menjalani kehidupan manusia. Ini dilakukan lantaran manusia harus memenuhi kebutuhan pokoknya yang selanjutnya mengarah kepada pemenuhan kebutuhan sekunder dan terstier di level yang lebih tinggi lagi. Kesemuanya itu kemudian akan mengarahkan mereka kepada apa yang disebut kehidupan yang sejahtera.
Munculnya kemiskinan juga bisa membangkitkan rasa kepedulian di antara sesama, yaitu dengan munculnya konsep pemerataan atau yang biasa dikenal efek menetes ke bawah (trickle down effect) di mana orang yang dianggap mapan dalam hal ekonomi dapat memberikan pengaruhnya atau sedikit berbagi kepada mereka yang dianggap kurang mampu secara finansial (miskin). Hal ini dapat dilakukan oleh si kaya dengan menciptakan lapangan pekerjaan sehingga pengangguran bisa dikurangi.
Jadi dalam hal ini ada konsep gotong royong di mana si kaya diharapkan dapat membantu si miskin untuk bisa terlepas dari belenggu kemiskinan walaupun pada kenyataannya belum tentu dengan cara seperti itu kemiskinan dapat terselesaikan, namun hal tersebut setidaknya dapat membantu agar mereka-mereka yang dianggap rapuh dalam segi ekonomi tidak terlalu menderita.
Cara-cara positif seperti yang telah disebutkan di atas ternyata belumlah cukup. Tingginya ketakutan akan kemiskinan di kalangan orang-orang yang dianggap mampu dan sulitnya orang miskin untuk naik strata mendorong seseorang untuk menempuh cara negatif untuk menghadapi kemiskinan. Kemudian munculah korupsi di kalangan pejabat, sikap anarkis dikalangan masyarakat kelas bawah. Seperti yang dikatakan oleh FX Rudy Gunawan bahwa kemiskinan bisa menjadi faktor pemicu anarkisme. Apalagi bila kebijakan perekonomian yang diterapkan justru memperlebar tingkat kesenjangan antara lapisan masyarakat bawah dan lapisan masyarakat atas.[ii] Hal ini pernah terjadi pada peristiwa penjarahan pada Mei 1998.
Selain hal di atas kemiskinan juga menyebabkan orang tua mendayagunakan elemen keluarganya seperti anak-anaknya yang mengarah kepada eksploitasi.[iii] Hal ini terjadi pada lapisan masyarakat bawah yang tentunya korban dari kemiskinan yang sebagian besar hanya mempunyai kekuatan fisik. Maka dengan kondisi yang serba terbatas mereka akhirnya “memaksa” anak-anak mereka untuk membantu memenuhi perekonomian keluarga.
Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap orang memiliki cara tersendiri dalam menghadapi bahaya kemiskinan hal itu disesuaikan dengan kondisi nyata yang dihadapinya dan tentunya strata sosialnya dalam masyarakat. Karena hal itu akan menentukan dalam pengambilan bentuk perjuangan atau cara dalam melawan kemiskinan. Dan perlu dipertegas bahwa tentunya tidak mudah bagi mereka yang berasal dari kelas bawah untuk bisa melepaskan diri dari kemiskinan namun bukan berarti tidak bisa. Dan bagi mereka yang telah mapan haruslah waspada karena kemiskinan suatu saat sangat mungkin untuk menghampirinya.
Dan yang terpenting adalah bahwa kemiskinan bukanlah masalah nasib, melainkan masalah akses dan upaya perjuangan untuk mendapatkan akses yang dikuasai kelompok status quo (kaum bangsawan/ elite).




[i] Gunawan Sumodiningrat, dkk. 1999. Kemiskinan (Teori, Fakta dan Kebijakan). Edisi pertama, Jakarta: IMPAC, hal.1
[ii] FX Rudy Gunawan. 2000. Premanisme Politik. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. Hal. 12
[iii] lihat Lindyastuty Setiawati dan Sri Guritno. 1996-1997. Budaya Kemiskinan di Desa Tertinggal di Jawa Timur. Jakarta: CV Bupara Nugraha. Hal. 51

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial