Menakar Kekuatan Calon Presiden 2014

Pemilihan presiden merupakan sebuah ajang bagi suatu negara untuk mencari dan mendapatkan pemimpin yang bisa menjalankan amanat konstitusi. Tak ubahnya ajang idol, agenda 5 tahunan ini juga mengharuskan para calon atau kandidat mendapatkan dukungan dan simpati dari segenap rakyat. Oleh karenanya serangkaian strategi politik pun diupayakan agar dapat dinobatkan sebagai presiden Republik Indonesia.
Menurut penulis, pilpres 2014 nanti tidak akan jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kandidat masih akan didominasi oleh muka-muka lama yang masih penasaran duduk di kursi RI 1. Hal ini juga terlihat dari beberapa survey yang menempatkan politisi gaek masih mendapatkan dukungan yang besar dari masyarakat.
Survey yang dilakukan oleh Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menobatkan Prabowo sebagai kandidat terkuat capres 2014, yaitu dengan 28% dukungan. Berbeda dengan SSS, Jaringan Survey Indonesia (JSI) justru menempatkan Megawati diposisi teratas dan mengungguli Prabowo dengan dukungan sebesar 23,8%. Tidak mau ketinggalan, Developing Countries Study Center (DCSC) merilis hasil surveinya yang menempatkan Hatta Rajasa sebagai capres terpopuler yang diberitakan oleh media massa dan mengungguli Abu Rizal Bakrie, dengan jumlah artikel sebanyak 51,8%.
Survey-survey tersebut bukanlah sebuah kepastian, namun setidaknya data yang didapatkan bisa menginformasikan kepada kita semua dan memberikan bayangan mengenai kekuatan masing-masing tokoh yang akan maju dalam pilpres 2014.
Sosok Prabowo wajar bila dianggap sebagai salah satu kekuatan besar dalam bursa pencalonan presiden 2014 nanti. Figurnya yang dinilai tegas dan citra pro-rakyat kecil yang ditampilkannya sejak pilpres 2009 merupakan hal positif guna memikat hati pemilih. Tidak hanya itu, partai Gerindra yang dibangunnya pun sejalan dengan make up perjuangan terhadap wong cilik. Dengan positioningnya sebagai partai yang berada di luar pemerintahan semakin menguntungkan Prabowo dan partai Gerindra untuk menjadi kekuatan besar pada pilpres 2014 nanti.
Meskipun demikian, jalan menuju RI 1 bagi Prabowo tidaklah mudah. Mantan Pangkostrad ini memiliki dosa sejarah yang sulit dilupakan. Prabowo dengan tim mawar dianggap bertanggung jawab terhadap aksi penculikan aktivis pada tahun 1998. Meskipun sampai sekarang belum terbukti, namun opini publik sudah terlanjur terbentuk dan di mata mereka yang pro-reformasi (anti Orba) Prabowo adalah simbol dari matinya demokrasi.
Strategi Prabowo merekrut aktivis 1998, seperti Pius tetap tidak bisa menghilangkan citranya sebagai mesin pembasmi demokrasi. Upaya ini hanya menimbulkan sentimen miring terhadap mantan aktivis yang kini bergabung dengannya. Sehingga tantangan terberat Prabowo dalam pilpres nanti adalah bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa Prabowo tak seperti yang dulu.
Berbeda dengan Prabowo, Megawati terlahir sebagai figur yang dianggap penjelmaan dari ayahnya (Bung Karno) dan sebagai sosok perempuan yang dekat dengan wong cilik serta penentang kezaliman Orde Baru. Sehingga oleh kalangan Soekarnois kehadirannya sangat dielu-elukan. Puncaknya adalah ketika partai yang dikomandoinya berhasil menjadi pemenang dalam pemilu 1999 dengan suara sekitar 33%.
Meskipun demikian, Megawati tidak langsung menjadi presiden. Asas perwakilan mengaharuskan presiden dipilih oleh MPR sebagai simbol perwakilan rakyat. Di sinilah Megawati dikalahkan oleh persekongkolan politik dan dirinya harus puas menjadi wakil dari Gusdur.
Sepak terjangnya ketika menjabat sebagai wakil presiden tidak terlalu kentara. Bahkan ketika Mega menggantikan Gusdur menjadi Presiden popularitasnya semakin menurun. Dan periode ini merupakan awal dari kehancuran kepercayaan rakyat terhadap Megawati. Sikapnya yang banyak diam, dominasi Taufik Kemas dalam pemerintahan, hilangnya Sipadan dan Ligitan, serta penjualan saham BUMN kepada asing membuat dirinya tak dipercaya oleh rakyat yang sudah lama menantikan datangnya Ratu Adil. Ini yang kemudian menyebabkan Mega tidak terpilih dalam Pilpres tahun 2004 dan 2009. Perolehan suara PDIP pun terus mengalami kemerosotan 33,33% (1999), 18,31% (2004), dan 14,00 % (2009).
Dari uraian ini, apabila Megawati tetap mencalonkan diri lagi dalam pilpres 2014 maka sama saja dengan bunuh diri. PDIP harus bisa mencari pengganti Mega yang bisa diambil dari internal partai. Langkah partai untuk berada di luar pemerintahan sudah tepat, namun kader PDIP harus kembali kepada khittahnya, yaitu perjuangan terhadap wong cilik.
Beberapa bulan belakangan, Hatta Rajasa ramai dibicarakan oleh media dan bahkan menjadi terpopuler dalam pemberitaan mengenai ‘capres 2014”. Hal ini tidak lain karena posisinya sebagai ketua umum PAN sekaligus Menteri Koordinator Perkonomian. Partainya juga telah mendeklarasikan dirinya sebagai capres 2014. Terobosan yang dilakukannya dengan menjadi “besan” SBY juga mengundang pemberitaan di media massa. Bahkan pernikahan anaknya dengan putra SBY ini dianggap sebagai perkawinan politik “partai biru”.
Tidak salah memang jika ada anggapan demikian, mengingat Partai Demokrat juga sudah tidak punya figur pasca SBY lengser nanti. Kesetiaan Hatta terhadap SBY juga menjadi modal di kalangan Demokrat dan SBY sendiri, bahwa Hatta memang anak baik. Sehingga ketakutan akan adanya pihak-pihak yang mengusik keluarga Cikeas ketika SBY sudah tidak menjabat presiden bisa ditepis.
Namun yang menjadi masalah apakah semua faksi di Demokrat setuju dengan upaya untuk mendukung Hatta menjadi capres 2014 nanti? Apalagi, belakangan internal Demokrat sedang tidak harmonis dan pecah kongsi terkait dengan kasus Nazarudin yang semakin menyudutkan Ketua Umumnya (Anas urbaningrum). Mendapat restu dari SBY adalah hal mudah tapi kebulatan suara Demokrat untuk merestui Hatta sepertinya agak susah.
Sosok Hatta dalam beberapa kabinet di pemerintahan juga tidak memuaskan. Sejak menjadi menteri pada tahun 2001 belum ada terobosan memuaskan yang pernah dilakukannya. Hatta bahkan tersandung kasus korupsi KRL bekas dari Jepang. Kasus tersebut hanya ditanggung oleh anak buahnya sendiri dan Hatta tetap percaya diri melanjutkan tugasnya menjadi menteri. Bahkan ketika terjadi rhesuffle kabinet, alumni teknik ITB ini malah diberi jabatan Menko Perekonomian yang jauh dari bidangnya. Hubungan Hatta dalam kabinet SBY memang lebih berbau nepotisme ketimbang profesionalisme.
Jadi posisi Hatta dalam pertarungan capres 2014 nanti juga tidak mudah. Powernya hanya pada PAN dan kedekatan dengan SBY sedangkan dengan Demokrat dan rakyat patut dikaji lebih jauh lagi. Untuk itu Hatta perlu menggalang kekuatan dengan partai-partai yang ada di Setgab, terutama dengan partai-partai tengah seperti PKB, PPP, dan PKS. Dalam konsolidasi ini harusnya Hatta tidak menemukan kesulitan karena dia sudah terbiasa menjalankan peran tersebut semasa kabinet Indonesia Bersatu.
Terlepas dari siapakah kandidat yang paling berpeluang dalam capres 2014 nanti, yang terpenting adalah bagaimana partai sebagai mesin politik dapat melewati parliamentary threshold dan mendapatkan suara yang signifikan guna bersuara lebih banyak dan memiliki bargaining power dalam mengajukan capres unggulannya. Bila partai gagal lolos, maka sia-sia saja deklarasi dan berbagai spekulasi yang dibuat. Siapapun capresnya semoga kita diberikan banyak pilihan dan mendapatkan presiden yang konsisten menjalankan amanat UUD 1945.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial