Apasalahnya Terdakwa Kasus Korupsi divonis Bebas?


Beberapa hari belakangan banyak kita saksikan polemik mengenai putusan bebas terdakwa kasus korupsi di beberapa pengadilan Tipikor, seperti vonis bebas yang terjadi di pengadilan Tipikor Lampung, Bandung, dan Samarinda. Beberapa kalangan menyesalkan kejadian ini dan menganggap pengadilan Tipikor tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi, sebagian lagi malah meyalahkan kehadiran pengadilan Tipikor, sistem perekrutan hakim ad-hoc yang kemudian bermuara pada judgment mengenai ketidaksiapan pengadilan Tipikor dalam menangani kasus-kasus korupsi. Polemik ini terus berkembang sampai pada perdebatan perlu tidaknya pembubaran pengadilan Tipikor.
Permasalahan ini pada dasarnya dilatarbelakangi karena banyaknya putusan bebas terhadap terdakwa kasus korupsi di pengadilan Tipikor di daerah-daerah. Apabila semua terdakwa korupsi dipidanakan (tidak ada satupun yang bebas) tentu polemik ini tidak akan mengemuka. Namun yang menjadi pertanyaan penulis adalah: Apakah seorang terdakwa itu harus menjadi terpidana (dihukum) dan tidak boleh bebas?

Terdakwa beda dengan terpidana
Mengacu pada KUHAP, terdakwa didefinisakan sebagai “tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilanSedangkan tersangka itu sendiri adalah “seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Menilik definisi di atas, maka seorang terdakwa adalah seseorang yang diduga, dan namanya dugaan itu bisa salah bisa benar, maka kemudian diuji dan dibuktikanlah dugaan tersebut di pengadilan. Apabila memang dugaannya benar orang tersebut (terdakwa) akan dijatuhi hukuman tapi bila tidak tentunya akan dibebaskan. Inilah wujud supremasi hukum dan pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat.
Jadi dengan kata lain terdakwa tidak melulu harus dijatuhi hukuman (terpidana). Semuanya tergantung proses pembuktian di pengadilan. Lantas kenapa kemudian banyak orang beramai-ramai ingin memenjarakan terdakwa?
Korupsi di negeri ini memang sudah akut dan tidak mudah menyelesaikannya dalam waktu singkat. Korupsi juga membutuhkan penangan khusus karena berbeda dengan kejahatan pada umumnya. Apalagi setelah korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime praktis kejahatan yang satu ini menjadi “primadona” bagi aparat penegak hukum dan para penggerak anti korupsi. Meskipun demikian upaya pemberantasan korupsi tentunya juga harus dilakukan sesuai aturan hukum yang ada dengan tetap menjaga asas praduga tak bersalah dan keadilan.

Berikan perhatian
Menyikapi banyaknya terdakwa korupsi yang divonis bebas di pengadilan Tipikor, harusnya kita cermati dengan cerdas. Dan sekali lagi ini bukan masalah pemidanaan terhadap terdakwa korupsi melainkan sebuah upaya untuk melawan korupsi dengan cara yang benar. Oleh karenanya ada beberapa point yang mesti kita perhatikan terkait dengan vonis hakim Tipikor yang dianggap mengecewakan.
Pertama adalah mengenai kelengkapan bukti dipersidangan. Apakah memang jaksa penuntut sudah mengumpulkan bukti-bukti yang cukup di persidangan, apakah saksi-saksi kunci bisa dihadirkan. Kedua adalah mengenai kompetensi hakim ad-hoc di pengadilan Tipikor itu sendiri. Bagaimana pendidikan dan pelatihanya, apakah sistem perekrutan sudah tepat. Dan ketiga adalah mental anti korupsi dan integritas dari perangkat pengadilan Tipikor. Apakah orang-orang tersebut adalah orang-orang yang bersih hatinya atau belum.
Bila ketiga hal tersebut tidak mendapatkan perhatian baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat maka akan menjadi ruang bagi koruptor untuk “bermain” dan menjalankan aksi-aksi korupsi lanjutan, seperti menyuap hakim agar bisa bebas.
Kehadiran pengadilan Tipikor di daerah-daerah memang memiliki kelebihan dan kekurangan dalam rangka pemberantasan korupsi. Dengan negara yang luas dan memiliki banyak pulau seperti Indonesia, langkah mendirikan pengadilan Tipikor di daerah-daerah memang diperlukan. Dan penulis sepakat, bahwa untuk kasus korupsi memang harus ditangani secara khusus dan kehadiran pengadilan Tipikor adalah sebuah keniscayaan.
Adanya pengadilan Tipikor di daerah-daerah diharapkan bisa menangani kasus korupsi dengan efektif dan efisien. Tersangka kasus korupsi tidak perlu diperiksa dan dibawa ke Jakarta yang akan menghabiskan banyak waktu dan biaya. Kehadiran pengadilan Tipikor juga sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam upaya menangani permasalahan korupsi di Indonesia. Lebih lanjut pengadilan Tipikor bisa dijadikan ajang untuk menciptakan sebuah peradilan yang bersih karena ini merupakan lembaga baru dan bisa dilakukan pengkaderan perangkat pengadilan yang bersih.
Namun pendirian pengadilan Tipikor juga tidak lepas dari kelemahan-kelemahan. Di antaranya adalah masalah pengawasan atau kontrol dari pusat yang tidak kuat. Kepala daerah sering dianggap sebagai orang yang disegani dan ada rasa ewuh perkewuh untuk menangani kasusnya. Tak jarang antara pejabat daerah dan hakim atau perangkat pengadilan di wilayah setempat juga sudah saling kenal sehingga makin melanggengkan kultur ewuh perkewuh tadi. Selain itu pembentukan pengadilan Tipikor juga dirasakan terburu-buru dan tidak dilakukan bertahap sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Sehingga kesiapan dari perangkat pengadilan pun dipertanyakan, baik dari sisi kompetensi dan integritasnya.
Sebagai penutup, penulis ingin mengingatkan pembaca bahwa korupsi memang merupakan musuh kita bersama dan harus kita lawan. Namun kita juga jangan terjebak dalam polemik di media massa mengenai banyaknya terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas di pengadilan Tipikor. Penulis juga ingin menegaskan kalau masalah sesungguhnya ada di pengawasan atau kontrol baik itu dari pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat terhadap pemangku jabatan di pengadilan Tipikor. Selain itu kesiapan dari jaksa penuntut, pelapor, penyidik juga diperlukan guna membuktikan sebuah kasus korupsi.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial