65 Tahun Pancasila (1 Juni 1945 - 1 Juni 2010)

65 tahun yang lalu, bung Karno dalam pidatonya di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI) memaparkan gagasannya yang begitu brilian mengenai dasar negara Indonesia. Asas atau dasar berdirinya negara Indonesia yang kemudian dinamainya pancasila tersebut adalah: kebangsaan Indonesia, perikemanusiaan/internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, serta ketuhanan. Kelima dasar inilah yang kemudian diusulkan oleh bung Karno sebagai dasar berdirinya negara Indonesia. Sebuah asas yang kemudian diharapkan dapat menjadi pegangan dalam kehidupan berbangsa demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.


Perjalanan pancasila

Dalam perjalanannya, pancasila sebagai dasar bagi republik telah disalahgunakan oleh rezim Orde Baru (Orba). Pancasila yang seharusnya menjadi pegangan hidup bangsa Indonesia malah digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Berbagai langkah dilakukan oleh rezim Orba dalam memanipulasi pancasila. Pertama, Orba tidak mengakui bung Karno sebagai penggali pancasila dan tanggal 1 juni 1945 bukanlah hari lahir pancasila. Penggagas pancasila versi Orba adalah M. Yamin dan hari lahir pancasila ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945. Kedua, pelajar pada masa Orba dijejali dengan apa yang biasa disebut Pedoman Pengamalan Penghayatan Pancasila (P4). Pancasila hanya dijadikan hafalan dengan lima silanya dan dengan berbagai turunan dari setiap silanya. Ketiga, asas tunggal pancasila yang diberlakukan oleh Orba terhadap semua parpol maupun ormas telah mengekang demokrasi dan bertentangan dengan nilai-nilai luhur pancasila yang menghargai perbedaan bukan penyeragaman.

Kehancuran Orba telah membawa angin segar bagi pancasila yang kita cita-citakan (baca: pancasila 1 Juni 1945). Reformasi telah meluruskan pelbagai hal yang selama ini dimanipulasi oleh Orba termasuk pancasila. Namun, 12 tahun sudah reformasi tetap saja nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila masih belum tercermin dalam kehidupan berbangsa. Salah satu keberhasilan reformasi adalah meluruskan sejarah pancasila sedangkan pelaksanaannya masih jauh panggang dari api.


Memahami pancasila

Pancasila 1 Juni pada intinya merupakan sebuah pedoman bagi kita untuk mewujudkan suatu keadilan sosial, sebuah masyarakat Indonesia yang sejahtera, sebuah kehidupan tanpa penindasan sebagaimana tercermin dalam ke-lima silanya: Kebangsaan, pertama sekali bung Karno mengemukakan gagasannya mengenai dasar berdirinya Indonesia merdeka adalah menekankan pada prinsip kebangsaan. Prinsip kebangsaan diambil mengingat masyarakat Indonesia begitu beragam, baik itu suku maupun adat dan kepercayaan tiap-tiap penduduknya yang membentang dari Merauke hingga ke Sabang. Hal ini juga mengandung pengertian bahwa Indonesia tidak didirikan untuk sekelompok golongan saja, Indonesia bukan hanya Jawa saja, Indonesia bukan hanya Islam, tetapi Indonesia adalah semua untuk semua, sebagaimana dijelaskan Bung Karno dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI 65 tahun silam.

Seiring bergulirnya waktu, semangat kebangsaan yang begitu lekat dengan persatuan tersebut kini makin tergerus. Berbagai kelompok mulai egois ingin republik ini berdiri di atas dasar agamanya. Sentimen antar suku juga masih mewarnai kehidupan berbangsa. Parahnya lagi beberapa daerah malah menginginkan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berbagai latar belakang, termasuk masalah kesenjangan (baca: ketidakmerataan pembagian kue pembangunan). Kondisi ini tentunya berlawanan dengan prinsip kebangsaan.

Setelah kebangsaan, bung Karno kemudian mengemukakan dasar kedua bagi Indonesia merdeka, yaitu perikemanusiaan atau internasionalisme. Hal ini terkait sekali dengan nasionalisme bangsa Indonesia. Menurut bung Karno nasionalisme Indonesia jangan sampai mengarah pada fasisme ataupun chauvinisme yang tidak mengahargai bangsa lain. Nasionalisme Indonesia merupakan sebuah paham kebangsaan yang saling menghargai antara satu bangsa dengan lainnya. Nasionalisme yang dimaksud bukanlah nasionalisme yang anti asing melainkan sebuah paham kebangsaan yang saling menghormati demi kemakmuran bersama.

Kondisi saat ini justru kebalikan dari cita-cita tersebut. Jangankan untuk bisa menghargai atau menghormati bangsa lain, untuk menghargai negara sendiri saja kita belum mampu. Nasionalisme hanya sebatas wacana dan simbol belaka. Elite kita terlalu sibuk mengurusi kekuasaannya tanpa memperdulikan nasib bangsanya yang dihuni oleh lebih dari 200 juta penduduk. Pemimpin kita tidak peka terhadap masalahnya kaum marhaen, kaum kromo, wong cilik dan tidak sadar bahwa dibalik perang kekuasaan yang mereka lakukan, jutaan rakyat menderita kelaparan dan bumi pertiwi habis dijarah oleh asing. Jadi sampai sekarang kita belum bisa berbicara mengenai nasionalisme yang berwatak internasionalisme karena kita sendiri masih belajar mencintai negeri ini.

Selanjutnya, dasar ketiga Indonesia yaitu mufakat atau demokrasi. Disinilah tempatnya kita belajar berdemokrasi dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Karena pada prinsipnya mufakat atau perwakilan yang dimaksudkan disini merupakan manifestasi dari kehendak atau aspirasi rakyat yang diwakilkan kepada anggota dewan.

Pada prinsipnya, Indonesia memang telah berhasil menjalankan asas mufakat atau perwakilan rakyat ini. Dalam pemilu 5 tahunan kita selalu memilih wakil-wakil kita baik di DPR maupun DPRD. Namun upaya untuk mendapatkan wakil yang benar-benar dapat mewakili kehendak rakyat masih sulit. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa para wakil rakyat lebih sering mengurusi kue kekuasaan ketimbang aspirasi rakyat. Wakil-wakil rakyat yang menyatakan dirinya mewakili kelompok nasionalis, islam, atau wong cilik ternyata palsu. Dan celakanya masih banyak kelompok-kelompok yang memilih cara-cara inkonstitusional dalam mengemukakan gagasannya mengenai Indonesia berdasarkan kacamata kelompoknya. Seperti halnya gerakan terorisme yang begitu subur di Indonesia. Mereka memilih menggunakan cara-cara radikal untuk menunjukkan ketidaksepakatannya dengan pemerintah ketimbang menggunakan cara-cara konstitusional dengan mengirimkan wakilnya di gedung dewan.

Prinsip ke-empat dari pancasila adalah kesejahteraan sosial. Negara Indonesia didirikan untuk mensejahterakan rakyatnya. Kesejahteraan yang dimaksudkan bukanlah hanya untuk golongan tertentu saja, melainkan semua golongan. Indonesia didirikan bukan untuk memberikan kebebasan si-kaya untuk menindas si-miskin. Dan dalam konteks sekarang ini, rezim reformasi yang digadang-gadang bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik ternyata gagal dalam praktiknya. Rezim reformasi tidak bisa membendung gelombang besar liberalisme yang telah sekian lama menghancurkan Indonesia dan berlawanan dengan prinsip kesejahteraan sosial yang dikemukakan oleh bung Karno. Karena di dalam pancasila negara Indonesia berdiri untuk mensejahterakan semua rakyatnya bukan negara yang kaum kapitalnya merajalela sebagaimana dikemukan soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945. Dan bila sekarang ini negara membiarkan rakyatnya hidup dalam kemelaratan berarti negara telah menghianati pancasila yang notabenenya merupakan dasar berdirinya NKRI.

Dasar yang terakhir yakni ketuhanan. Hal ini didasarkan oleh kenyataan bahwa bangsa kita sejak dulu memang religius. Hal ini terlepas dari apakah dia memiliki kepercayaan animisme, dinamisme, Islam, Kristen, Hindu, Budha yang pasti masyarakat Indonesia mengakui adanya sang pencipta. Dan oleh karena keyakinan yang ada di Indonesia bukan hanya Islam, Hindu, Budha, maupun Kristen, maka dasar yang dianggap tepat oleh bung Karno adalah ketuhanan yang berarti mewakili semua kepercayaan yang ada tanpa membeda-bedakan satu dengan lainnya. Disinilah perlunya penghargaan atau penghormatan terhadap kepercayaan atau keyakinan orang lain. Sehingga umat beragama harus bersikap dewasa dan tidak egois dalam mengamalkan ataupun menjalankan ajarannya agamanya supaya tercipta hubungan yang harmonis dalam kehidupan yang bhinneka. Dengan ketuhanan diharapkan kita bisa berbangsa dengan baik, berperikemanusiaan, bermufakat dengan cinta kasih, dan mewujudkan kesejahteraan sosial dengan tulus.

Namun sangat disayangkan, karena ketuhanan yang dimaksudkan disini masih belum berjalan sebagaimana yang dicita-citakan oleh pancasila. Kita masih sering mendengar berita konflik antar agama di beberapa daerah. Perbedaan keyakinan seringkali menjadi pemicu benturan di masyarakat seperti pembakaran rumah ibadah ataupun kekerasan fisik terhadap penganut ajaran yang dianggap menyimpang dan berbeda. Seperti yang terjadi pada Ahmadiyah, Lia Eden, maupun umat Kristen. Kondisi ini menunjukkan bahwa kita masih belum dewasa dan masih egois menjalankan ajaran atau keyakinan kita.


Mengobarkan semangat pancasila

Memperingati lahirnya pancasila 1 Juni 2010 ini, penulis mengajak segenap pembaca untuk kembali menghidupkan semangat pancasila yang telah dikobarkan 65 tahun silam. Pancasila yang telah dipilih menjadi dasar republik ini harus bisa membawa Indonesia kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pancasila bukanlah sekedar simbol pemersatu, pancasila bukanlah alat untuk melakukan pembenaran untuk merepresi rakyat dengan tujuan pelanggengan kekuasaan. Pancasila adalah watak asli bangsa Indonesia, yaitu gotong royong.

Oleh karenanya penulis berharap kepada para pemimpin negeri ini untuk bersatu bersama rakyat, bergotong rakyat mewujudkan Indonesia yang benar-benar merdeka. Indonesia yang rakyatnya sejahtera, Indonesia yang tidak tunduk pada kepentingan asing, Indonesia yang berdiri di atas kaki sendiri (BERDIKARI) sebagaimana dikatakan bung Karno dengan konsep trisaktinya (berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik dan berprikebadian dalam kebudayaan). Dan kesemuanya itu bisa kita lakukan selama pancasila masih menjadi dasar dan tujuan dari NKRI.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Gerak Lambat Pendidikan

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial