Mendebat Kementerian Kebudayaan

Sumber: Diolah dari www.smkn4jkt.sch.id
RUU tentang Kebudayaan hampir memasuki babak akhir, namun masih ada sebagian masyarakat yang mengkritik. Antara lain ihwal adanya konsideran yang memuat dasar lahirnya RUU tersebut karena adanya ketakutan akan pengaruh globalisasi terhadap budaya nasional.   
  
Pada prinsipnya, RUU tentang kebudayaan memberi banyak ruang untuk pelestarian dan pengelolaan budaya agar tercipta ketahanan budaya. Jadi bukan sekedar memproteksi diri dan enggan membangun budaya lokal ataupun nasional. Dalam RUU tersebut jelas disebutkan mengenai usaha untuk mengelola dan membangun budaya nasional, seperti pada poin pengelolaan, perencanaan, dan pengembangan jati diri bangsa. Hanya saja, perbedaan persepsi ini mesti didiskusikan lebih lanjut. Misalnya, pengaruh globalisasi ataukah budaya asing yang sejatinya dikuatirkan oleh pembuat UU? Kemudian wujud dampak negatif yang dimaksudkan.

Terlepas dari kritik tersebut, ada hal yang sangat krusial dan selama ini tidak banyak disinggung oleh publik, yaitu rencana untuk membentuk kementerian yang khusus menyelenggarakan pemerintahan di bidang kebudayaan (pasal 8 ayat 1). Munculnya ide untuk membentuk kementerian tersebut agar sektor kebudayaan mendapat anggaran yang besar dan pengelolaan kebudayaan bisa fokus. Menurut penulis, dalam konteks Indonesia saat ini, argumentasi tentang kementerian khusus kebudayaan cukup rapuh.

Ada dua alasan mengapa pembentukan Kementerian Kebudayaan patut dikritisi. Pertama, membentuk kementerian baru tidak semudah dulu. Karena meskipun kita menganut sistem presidensil, tapi praktiknya dalam hal merubah jumlah kementerian harus dengan persetujuan DPR. Oleh karenanya, untuk merealisasikan hal tersebut dibutuhkan dukungan DPR untuk merevisi UU No.39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Sebab, dalam UU tersebut, jumlah keseluruhan kementerian maksimal adalah 34 (pasal 15). Dengan adanya niat memisahkan Kementerian Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan, dan dengan asumsi jumlah kementerian lain tidak berkurang, maka otomatis jumlah kementerian akan bertambah menjadi 35.

Bayangkan, betapa banyaknya kementerian di negara ini. Cina saja yang jumlah penduduknya lebih dari 1 miliar jiwa hanya memiliki 20 kementerian. Tetangga kita, seperti Malaysia hanya memiliki 23 kementerian. Bahkan Korea Selatan hanya memiliki 17 kementerian.

Kedua, saat ini kita sedang dirundung permasalahan jebolnya APBN dan ruang fiskal yang terbatas akibat bengkaknya subsidi BBM dan besarnya belanja rutin pemerintah. Presiden pun menginstruksikan kepada kementerian/lembaga negara untuk memangkas anggarannya dengan target bisa menghemat sekitar Rp.100 triliun. Tapi faktanya, dalam APBN-P 2014 yang telah disahkan, realisasi penghematan hanya sebesar Rp.43 triliun.

Sementara itu, hasil kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menunjukkan bahwa dari total penerimaan pajak yang jumlahnya mencapai Rp.1.661 triliun, 54%-nya dipakai untuk belanja rutin. Selanjutnya, peningkatan belanja rutin juga jauh lebih tinggi ketimbang belanja modal. Belanja rutin meningkat sebesar Rp.145 tiliun, belanja pegawai yang juga bagian dari belanja rutin naik sebesar Rp.43,6 triliun, sedangkan belanja modal hanya naik Rp.13,2 triliun. Dan parahnya lagi, 5% dari belanja modal diperuntukan untuk membeli mobil dinas. Data ini membuktikan bahwa sebagian besar APBN habis untuk membiayai operasional kementerian/lembaga negara.

Untuk mengatasi pemborosan anggaran ini, sejak 2009 BPK telah merekomendasikan agar pemerintah merampingkan kementerian/lembaga negara yang memiliki banyak kesamaan, seperti LIPI, BPPT, dan Kemristek. Kemudian Kemenpan & RB, BKN, dan LAN. Selain untuk menghemat anggaran, langkah ini juga sebagai wujud pelaksanaan reformasi birokrasi. Namun, upaya ini urung terealisasi. Mungkin pemerintah takut terjadi gejolak dalam birokrasi yang sudah demikian gemuk.

Meskipun begitu, Wapres Boediono coba menggunakan cara yang lebih soft untuk mengatasi tambunnya birokrasi pemerintah, yaitu dengan merampingkan struktur organisasi instansi pemerintah baik kementerian dan lembaga. Upaya ini akan diterapkan di 16 kementerian/lembaga. Hasilnya baru Kemenpan & RB, LAN, dan BKN yang sudah menyampaikan usulan konkret dengan mengurangi jumlah pejabat eselonnya.

Oleh sebab itu, menilik RUU Kebudayaan yang mengamanatkan untuk membentuk kementerian tersendiri menjadi tidak relevan dan justru kontradiktif dengan kebijakan makro mengenai penggunaan anggaran yang tepat sasaran, penghematan dan reformasi birokrasi. Langkah mundur inilah yang harusnya dikoreksi pula oleh publik.  

Bahkan, bila kita perhatikan, dari tiga negara tempat studi banding yang dilakukan oleh DPR, hanya India yang memiliki Kementerian Kebudayaan,  sedangkan Turki dan Yunani menyerahkan urusan kebudayaan pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Namun nyatanya, negara-negara tersebut mampu mengelola kebudayaannya dengan baik.

Maka, daripada kita sibuk dengan rencana membuat kementerian baru, lebih baik memaksimalkan peran Dirjen Kebudayaan yang selama ini ada di bawah naungan Kemdikbud. Sudah tepat menjadikan Kebudayaan sebagai bagian dari pendidikan. Karena kebudayaan berkembang melalui sebuah internalisasi. Dan internalisasi paling efektif adalah melalui pengajaran.

Oleh karena itu, penulis berharap agar beberapa poin yang masih kontroversial hendaknya kembali didiskusikan dengan segenap elemen, termasuk soal adanya kementerian tersendiri. Hal ini perlu dilakukan agar UU ini tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Karena bagaimanapun, masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan aspirasinya dan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan di DPR. Sehingga, akan lebih baik bila pengesahan RUU tentang Kebudayaan tidak dipaksakan.

Meskipun begitu, penulis juga sadar, bahwa tidak mungkin semua aspirasi diakomodasi oleh DPR. Namun, diskusi dalam ruang publik (public sphere) setidaknya bisa menjadi wujud konkrit diakuinya hak-hak masyarakat untuk berpendapat. Sehingga, apa yang diputuskan oleh DPR benar-benar menjadi kehendak masyarakat luas.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Kaum Muda

Hakikat, Tugas, dan Tangggung Jawab Manajerial

Gerak Lambat Pendidikan